Terik matahari menghangatkan perut bumi. Suara burung
gereja menggema di atas atap. Sekawanan ayam mengorek-ngorek tanah lembab guna
mencari cacing untuk disantap. Sedangkan Dani masih terperangkap di sarang
kasur. “Dan, Dani ayok bangun sudah siang loh” Aminah membangunkan Dani dari
balik pintu. “Katanya mau beli seragam sekolah. Lusa sudah masuk hari pertama
sekolah nak. Ayok segera bangun!” Aminah menggedor-gedor pintu agar anak bontot
kesayangannya segera bangun.
Asap kendaraan terus merongrong di padatnya kota B.
Banyak kendaraan roda empat parkir secara sembarangan yang membuat suasana kian
mencekik. Dani dan ibunya hanya bersikap acuh karena yang terfokus dalam
pikirannya hanya ingin cepat—cepat membeli seragam sekolah di salah satu toko
swalayan. Setelah mendapatkan seragam yang diidamkan, Dani dan ibunya langsung
pulang ke rumah.
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Dani sangat
bergembira akhirnya bisa memakai baju putih abu-abu. Bagi Dani ini merupakan
kemerdekaan bagi jiwa yang telah lama merintih. Dani ingin merasakan cinta
kasih oleh seorang gadis yang telah lama aku dambakan. Karena Dani dibolehkan
berpacaran oleh ibunya kalau sudah berseragam putih abu-abu.
***
Gadis
dambaanku. Zulfa
Kuncir
kuda kesukaannya
Lesung
pipi. Bibir tipis. Senyum manis
Bila
engkau bersuara daun-daun tertunduk tersipu malu
Burung-burung
berhenti mengepakkan sayapnya
Suara
desir angin menyempurnakan melodimu
Langkah minimalis menyertakan keanggunanmu
Gubrak... suara meja mengagetkan Dani yang sedang asyik
melamun. “Yang duduk di bangku pojok dan tidak mendengarkan kakak siapa namanya?”
ujar kakak tingkat yang sejak tadi memantik siswa baru di depan kelas. “Da...
da… Dani, kak” jawab Dani dengan gugup. “Oke, Dani. Dani sudah kenal sama teman
disampingnya?” kakak panitia bertanya dengan nada sinis. “Belum kak. Ini saya
baru mau kenalan” Dengan berkata tegas Dani meminta berkenalan kepada teman di
samping duduknya “Saya Dani, kalau boleh tau namamu siapa?”. Belum selesai
berkenalan, kakak kelas langsung menyamber omongan Dani. “lho lho, siapa yang
nyuruh untuk berkenalan. Sini-sini kamu maju kedepan. Kakak ada hadiah buat
kamu Dani. Syaratnya kamu harus mau mengikuti apa kata kakak”. Dengan polosnya
Dani maju kedepan. Cengar-cengir. Garuk-garuk kepala. Suasana di dalam ruang
kelas tanpa disuruh langsung rame dengan suara cekikikan.
Dani mendapat hukuman disuruh merayu salah satu siswi
baru. Seketika Dani melirik gadis yang telah lama di dambakannya. Gemetarlah
seluruh tubuhnya, lemas terasa, ingin keluar nyawanya, takut, campur aduk
perasaanya, bingung. Moment seperti ini tidak pernah Dani dapatkan. Seperti
mendapatkan durian runtuh saja. Wajar Dani mendambakan gadis pujaannya sejak
duduk dibangku kelas 2 SMP. Dani disuruh menjemputnya langsung kemudian dibawa
ke depan kelas. Dengan langkah gemetar Dani menghampiri Zulfa. Dani meminta
Zulfa untuk membantu melaksanakan tugas dari kakak panitia. Zulfa merupakan
teman kelasnya Dani waktu SMP. Namun, ia tidak begitu akrab.
“Sudah mendapatkan wanita pujaannya?” kakak kelas
mencupui Dani. Dani hanya tersenyum kecut.
“okee, sekarang coba buktikan bahwa Dani benar-benar
jantan” tambahnya lagi. Hati dan pikiran Dani bertengkar dengan hebat. Dani bingung
harus mengatakan apa, takut kalau gadis pujaannya tidak suka dengan rayuan
gombalnya. Dani menghela nafas dan memberanikan diri.
“Tau nggak persamaannya Zulfa dengan puisi?” Dani
mulai menggombal dengan malu-malu.
“Nggak tau Dan. Apa coba?” jawab Zulfa dengan sedikit
tersenyum. Dani melanjutkan gombalannya
“Puisi tersusun dari bahasa yang indah. Dan kamu zul
adalah keindahan itu”. Pecah seisi kelas, saling teriak-teriak dan ada yang
memukul teman disampingnya. Zulfa tersenyum malu-malu, mukanya sedikit memerah.
“Sudah, tenang-tenang semuanya” kakak kelas mencoba
meredakan suasana. “oke, terimakasih Dani sudah menunaikan hadiah dari kakak”
berbicara sambil ketawa kuda.
Detik demi detik telah berlalu. Hembusan angin membawa
warna baru bagi Dani. Pembagian kelas telah dilakukan oleh guru. Dani berada
satu kelas bersama Sang Bunga. Kini hubungan mereka semakin dekat, seperti
sepasang sandal mereka selalu jalan bersama. Namun, ada satu hal yang mereka
lupa, apakah sandal itu sudah pas atau belum.
“Dan, ada sesuatu yang harus kita omongin.” Zulfa
menatap serius kepada Dani yang sedang mengerjakan tugas di perpustakaan.
“Nanti dulu ya Zul, aku lagi pusing nih ngerjain soal
Bahasa Indonesia” tatapan Dani hanya terfokus pada tugasnya.
“Ini penting Dani!” Zulfa berbicara dengan nada kesal.
“Iya bentar ya Zulfa!” Dani tetap acuh kepada Zulfa.
“Minggu depan aku pindah sekolah, Ayahku pindah dinas
ke luar pulau di kota J, dan aku harus ikut bersama Ayah dan melanjutkan
sekolah di sana” Zulfa berbicara dengan hati-hati.
“Apa zul?” Dani terkejut mendengar perkataan sang
Bunga. “Kamu ngga lagi bercanda kan?”
“Ngga Dani, Ayahku sudah meminta izin kepada kepala
sekolah” jawab Zulfa.
“Baiklah jika ini yang terbaik” Dani berbicara dengan
suara berat hati ‘Kini hariku akan sepi, seperti halnya bunga yang tidak pernah
terkena sinar matahari ia akan menguning dan perlahan mengering.” Dani tak
tahan menahan air mata.
“Walau raga kita berjauhan, tapi ketahuilah jiwamu
akan selalu dekat bersamaku. Mari kita membuat janji” ujar Zulfa. Suasana
menjadi hening sejenak, kemudian Zulfa melanjutkan perkataanya “Percayalah aku
selalu menunggumu, gelang ini akan menjadi saksi bahwa kita akan kembali
bertemu”’. Dani tidak mampu berucap sepatah katapun hanya bisa menganggukkan
kepalanya.
***
Tiga tahun telah berlalu. Dani masih ingat betul apa
yang terjadi di perpustakaan sekolah tiga tahun lalu. Sekarang Dani sudah lulus
dari sekolah. Tiga tahun berpisah dengan sang Bunga dan tidak pernah
mendapatkan kabar darinya. Dani merasa bimbang, apakah sang Bunga masih
menunggunya atau justru dia telah melupakannya dan sudah mendapatkan pujaan
hati yang baru. Dani hanya bisa menebak-nebak prasangkanya. Tidak ada
kepastian. “Apakah aku harus melupakannya?” Dani berbicara pada diri sendiri
sambil memegang gelang pemberian darinya. “Ah ngga mungkin, aku yakin zulfa
masih menungguku” Dani meyakinkan diri sendiri.
Saat sedang asyik bermain instagram Dani tidak sengaja
melihat reels yang videonya mirip dengan Zulfa. Kemudian dia menstalking
instagramnya. Benar saja instagram tersebut milik Zulfa. “Kok Zulfa ngga pernah
ngasih tau bahwa dia punya IG, whatsappun sudah tiga tahun ngga aktif,
jangan-jangan sengaja di blokir” Dani menggerutu sendiri. Tak pikir panjang
Dani ngefollow nama instagram tersebut dan kemudian nge—dm “Hai Zulfa, ini aku
Dani. Apa kabarmu zul? Apakah kamu masih ingat denganku? Dengan janji kita di
perpustakaan dulu?”. Tak lama kemudian instagram Dani di follback dan ada DM
balasan dari Zulfa. “Aku masih ingat, kamu Dani kan yang dulu pernah
ngegombalin aku waktu perkenalan sekolah”. Dani tersenyum lebar bak bunga
matahari “Kamu masih ingatkan dengan janji kita? Aku selalu menunggumu di sini,
menunggu hari di mana kita dapat berjalan beriringan di taman penuh bunga”
“Perihal janji kita di perpustakaan dulu, maaf Dan.
Aku selalu ingat dengan janji itu. Tapi aku tidak bisa melanjutkan janji kita.
Aku adalah bunga layu, di sini aku mendapatkan sinar mentari yang membuat
hatiku hidup kembali. Kau adalah sisa keikhlasan hatiku Dan. Sekali lagi aku
minta maaf dan aku mohon lupakan janji kita”. Jawab Zulfa.
“Apa arti dari penantian ini Zul. Dalam malam-malamku,
aku selalu berdoa akan perjumpaan kita. Kini aku merasa senang bisa mengobrol
lagi denganmu. Tapi kau patahkan bunga ini. Aku tak pernah menyangka bahwa
hatimu mudah di pengaruhi oleh arus. Sekarang aku menghadapi badai yang entah
sampai kapan berakhir. Sungguh tega engkau Zul” Dani mengetik dengan jari
jemari gemetar. Ia telah kuasai rasa kecewa.
“Aku tidak bisa kembali lagi. Sekali lagi maafkan aku Dani” Zulfa dengan tulus meminta maaf kepada Dani.
Harapan telah pergi. Sudah tak ada tujuan hidupku lagi. Bungaku telah di ambil oleh tangan raksasa dan ia telah mati. Bersama gelang ini aku persembahkan nyawaku pada pohon penuh duri.
Posting Komentar