Negeri Dongeng

 


Sepasang mata bersiap menyerbu angin malam. Berjalan dengan kaki telanjang. Menyusuri di setiap sudut gang. Mencari sumber kehidupan. Untuk tetap melihat matahari esok.

Sepasang mata tetap terjaga. Sinar rembulan menari di setiap rongga malam. Raungan serigala memekikkan telinga yang lapar. Bulan tetap menari di lautan kebisuan.

Sepasang mata berjalan mengikuti sinar rembulan. Berharap dapat memecahkan kekakuan. Angin malam setia menemani melodi kerinduan. Ada asa yang harus tersambungkan.

 

Aku hanyalah seorang pelancong. Mengadu nasib di setiap jejak kaki. Menyusuri duri telanjang yang dibiasakan dengan keadaan. Singgah dari rumah ke rumah. Bukankah di setiap sudut semesta adalah rumah. Rumah tempat berteduh. Rumah tempat mengadu. Rumah tempat merenung. Rumah tempat untuk pulang. Apa arti rumah bagi orang yang bergemuruh dengan keadaan. Suara petir setiap saat menyambar, merusak, menenggelamkan bagai badai.

Menemukan negeri yang indah, negeri yang kaya raya, negeri yang damai itulah impian setiap jejak kaki melangkah. Seperti halnya negeri dongeng. Aku bisa meramalkan detak jantungku di hari esok. Aku bisa meramalkan kapan aku bisa tidur nyenyak. Kapan aku bisa menikmati lembutnya daging yang memanjakan lidah. Khayalan tentang negeri dongeng hanya akan membangunkan serigala yang kelaparan. Dan sekarang sedang terjadi di setiap panggung negeri.

Rasa lapar siap menerkam setiap saat. Orang pintar semakin pintar setiap detiknya. Mengubur dirinya dengan angan yang menembus dinding langit. Menjelma seperti dewa. Membangun sebuah negeri penuh dengan buah-buahan. Buah yang manis siap mengikuti dirinya. Sedangkan buah yang busuk akan menentang dan dibuang ke negeri yang jauh. Bukannya aku gagal membangun negeri khayalan. Hanya saja perhitunganku kurang tepat dan aku tersandung batu jalanan.

Aku kembali melancong menyusuri sungai. Sungai yang memerah dan baunya menusuk hidungku. Sungai yang tercemar oleh tangan nakal. Aku tetap berjalan karena sudah tak ada pilihan. Berdiam diri hanya membuatku mati kelaparan. Tak ada tempat untuk mengumpat. Umpatan hanya akan membunuh diriku sendiri. Lebih baik diam dan menutup mata seperti tidak terjadi apa-apa. Negeri khayalan kini menjadi neraka. Membutakan sepasang mata. Teriakan serigala membunuh cahaya rembulan. Masihkah ada harapan.

Serigala malam bersiap di barisan depan. Menerkam segala kesengsaraan. Sedangkan aku duduk di pinggir bahu jalan. Menikmati musim gugur dan rasa takut. Perasaan penuh was-was. Aku tidak tahu kapan serigala akan datang. Malam ini aku harus menginap di mana. Di kota yang miskin ini, tidur di pinggir jalan hanya mengantarkan nyawa dengan sia-sia. Kota yang terlihat indah di pagi hari. Namun, di malam hari suasana seperti hantu.

Aku berteriak memecahkan kebisuan. Terpenjara oleh alam pikiran. Masih mampukah aku melihat matahari di hari esok. Goresan tinta hanya akan menjadi kenangan yang dilupakan. Tangisan menjadi saksi bisu bahwa aku tak berdaya keluar dari cerita di negeri dongeng. Negeri para penjajah. Negeri penuh kepalsuan.

Aku harus melancong ke mana lagi. Jika di dalam hatiku masih menyimpan rasa dendam. Tidak ada gunanya aku berjalan. Jika yang kutemukan hanyalah kehancuran. Aku hancur oleh pikiranku sendiri. Negeri dongeng yang aku dambakan tidak pernah aku temukan. Semua yang aku lihat hanyalah keindahan semu. Kesengsaraan, ketidakadilan, kerusakan alam merupakan hasil dari pikiran-pikiran manusia yang mendambakan keindahan. Keindahan yang ada dalam pikiran liar.

Semesta memiliki rasa. Semesta memiliki mata. Semesta akan menjadi saksi setiap jejak kaki. Kemanapun jejak kakiku melangkah semesta selalu memata-matai. Tak ada tempat untuk bersembunyi. 



Tentang Penulis

Nama

:

Iqbal Khoerul Muttaqin

No. Hp

:

085647726623

Media Sosial

:Ig: @_utaa.qn




 


Posting Komentar