Di
suatu Negeri antah berantah bernama Merdikonesia, hiduplah seorang yang
sederhana dan bijaksana bernama Aaron. Ia adalah salah seorang pejabat legislatif
tingkat regional yang berangkat dari sebuah Partai kecil dengan logo khas
berwarna merah dan kuning. Partai Rakjat Digdaya namanya. Negara Merdikonesia
merupakan negara kecil yang mempunyai 50 anggota parlemen, mereka disebut
sebagai Dewan Pendamping Rakyat. Meski tergolong Negara Dunia Ketiga, rakyat
Merdikonesia masih bisa tersenyum bahagia dengan penghasilan seadanya.
Pemerintah Merdikonesia benar-benar memfokuskan anggaran negara untuk
pendidikan, meski tak bisa mengkover semuanya, belum lagi perilaku korupsi
sebagian pejabat yang menjadikan cita-cita mulia sulit terwujudkan.
Aaron
sebagai satu-satunya perwakilan dari Partai Rakjat Digdaya yang berhasil merebut
satu kursi di istana, sudah dipastikan tidak punya power lebih untuk
memperjuangkan apa yang sudah sepantasnya ia perjuangkan. Apalagi usianya
tergolong muda dan kariernya sebagai politisi baru seumur jagung.
“Bagaimana,
Bung? Pemerintahan Merdikonesia cukup menarik bukan? Dulu kau teriak-teriak di
depan gerbang gedung ini, sekarang kau merasakan sejuknya AC dan empuknya sofa
yang ada di dalamnya.” Seorang laki-laki seumuran Aaron menghisap cerutu
sembari menatap keluar jendela ruangan yang ditempati Aaron. Ia tampak fokus
mengamati gerbang hijau megah yang dulu sering ia robohkan bersama Aaron.
“Belum
genap setahun, John. Aku cukup geram dengan kelakuan para dewan maupun
eksekutif di komplek ini. Bagaimana bisa, anggaran menguap dengan mudahnya tak
terendus.” Aaron duduk di kursi empuknya sembari membuka beberapa dokumen di
tabnya.
“Ayolah,
Bung! Sudah saatnya kau nikmati semua hasil jerih payahmu selama ini. Fikirkan
bagaimana kau membangun ulang rumah orang tuamu yang sudah reot itu atau
menikahi Nona Elisha yang manis itu. Sampai kapan kau terus memikirkan mereka?
Kau juga berhak bahagia,” ungkap John dengan wajah terheran-heran. Sudah 10
tahun lebih Aaron mengabdikan dirinya untuk membersamai masyarakat yang
kesulitan, sejak mahsasiswa ia seringkali mempersulit diri sendiri untuk
membantu orang lain.
Tiba-tiba pintu diketuk, Aaron mempersilakan tiga orang
berpakaian rapih masuk. Setelah beberapa menit basa-basi, mereka menyodorkan
sebuah proposal bantuan dana. John hanya memperhatikan bagaimana Aaron
mengiyakan permintaan mereka, tak berselang lama mereka pun pamit untuk
meninggalkan ruangan.
“Kau lihat sendiri bagaimana orang-orang kaya itu
mengemis padamu! Kau punya peluang besar untuk menjadi kaya seperti mereka.”
John menghabiskan cerutunya lalu pergi meninggalkan Aaron sendirian.
Waktu menunjukkan pukul lima sore, Aaron bergegas pulang mengendarai
mobil sedan tahun 90an yang baginya masih layak untuk digunakan, meski
rata-rata anggota Dewan lain sudah menggunakan mobil keluaran terbaru yang jauh
lebih mahal.
Cuaca sangat mendung, langit senja berwarna gelap. Aaron
sampai di salah satu perempatan dan berhenti saat lampu berwarna merah. Ia
melihat dua orang anak kecil yang berjualan koran sedang berteduh di depan toko
bangunan yang telah tutup. Aaron tak kuasa melihat pemandangan memilukan itu,
mereka menggigil kedinginan. Ia mengarahkan mobilnya ke toko bangunan tersebut
dan memanggil kedua anak kecil tersebut untuk masuk ke mobil.
“Baju kami agak basah dan kotor, Pak. Nanti mobil Bapak
terkotori.” Sang Kakak menjawab panggilan Aaron dengan sopan.
“Tak apa, Nak. Masuk saja,” ucap Aaron dengan nada yang
teduh.
Mereka akhirnya masuk dan tak menaruh curiga sedikit pun.
Padahal Aaron adalah orang asing bagi mereka.
“Siapa nama kalian? Dan di mana rumah kalian?” Aaron
bertanya sembari mengisyaratkan pada mereka untuk menggunakan selimut yang ia
berikan.
“Aku Sofi dan ini adikku Romi. Kalau bapak?” kata Sang
Kakak yang berumur kurang lebih 10 tahun.
“Terima kasih, Pak. Sudah memberikan kami tempat
berteduh.” Tiba-tiba Sang Adik yang berusia 5 tahun mengucapkan terima kasih
dengan suara cemprengnya.
“Sama-sama, Dek. Nama saya Aaron. Panggil saja Pak Ary.
Apa kamu tidak sekolah, Sof?” Aaron balik bertanya pada Sofi.
“Bukankah sekolah hanya untuk orang-orang yang kaya saja,
Pak? Kata Ibu, sekolah hanya menghasilkan orang-orang individualis yang hanya
peduli pada perutnya sendiri, seperti orang-orang di gedung megah itu, mereka
kan berpendidikan semua.” Sofi menunjuk gedung yang tak lain adalah tempat
Aaron bekerja.
Aaron hanya tersenyum mendengarnya. Ia memberikan mereka
snack rapat yang belum sempat ia makan. Mereka yang terlihat sangat lapar,
langsung memakannya dengan raut wajah bahagia.
“Mau, saya antarkan pulang?” Aaron menawari mereka
tumpangan.
“Kami biasa pulang malam, Pak. Lagi pula Ibu sedang
sakit, kami harus membeli obat terlebih dahulu.” Sofi menjawab dengan wajah
yang tampak gelisah.
“Alhamdulillah, tadi kami sudah menjual semua gorengan
yang ibu buat tadi siang. Tinggal menghabiskan koran ini saja, Pak,” sahut Romi
dengan suara lucunya.
“Ini buat beli obat ya…” Aaron memberi mereka amplop yang
sedari tadi ia siapkan.
Sofi menolak halus amplop tersebut. “Kami berjualan
koran, Pak. Ibu tidak mengajarkan kami untuk meminta-minta.”
“Ini saya yang
memberi, kalian tidak meminta atau mengemis.”
“Sama saja, Pak Ary. Ibu tidak mengizinkan kami menerima
pemberian dari siapa pun tanpa kami bekerja atau menjual sesuatu.” Romi
menguatkan sikap kakaknya, ia berkata sedikit terbata, seakan sedang menghafal
ucapan ibunya.
Tanpa sadar, Aaron meneteskan air matanya. Akhirnya ia
membeli beberapa koran yang mereka tawarkan dan menanyakan letak rumah mereka
berdua secara detail sebelum pamit meninggalkan kakak-beradik yang berhasil
menyadarkannya.
Malam harinya Aaron bertemu dengan Elisha, kekasih yang
sangat amat ia cintai.
“Apa yang mengganggu pikiranmu, Sayang? Ayo makan dulu,
nanti dingin nasinya.” Elisha melihat jelas kegelisahan di mata kekasihnya.
“Hari ini, aku melihat pengemis berpakaian rapih dan
orang kaya berpakaian compang-camping, Sayang.” Aaron menjawab sembari menatap
lekat mata kekasihnya.
“Apa yang kamu pelajari dari mereka, Sayang”? Elisha
menyandarkan dagunya pada kedua tangannya dan membalas tatapan Aaron dengan
wajah syahdunya.
“Entahlah, tapi aku semakin bertanya-tanya, sampai kapan
kita terus bercinta di tengah timbunan derita Si Miskin dan Keserakahan Si
Kaya?”
*Sebuah khayalan yang
dicerpenkan bersama segelas espresso di Foster Coffe Tembalang
Posting Komentar