"DOR"
Sebuah peluru keluar dari moncong
pistol Glock 17. Sebuah peluru panas menenggelamkan mimpi-mimpi dan mengubur
dalam-dalam sebuah harapan. Sebuah pistol yang menjadi akhir hidup seorang buronan
paling berbahaya di kota Samsara. Peluru yang tidak hanya menembus dada tetapi
mengoyak semua rasa. Rasa haus akan keadilan, kesetaraan, dan rasa kemanusiaan.
Suara peluru yang diikuti keheningan alam dalam beberapa detik ke depan.
Membawa pada suasana tenang dan nyaman.
Dalam keheningan di ambang batas
antara kehidupan dan kematian, sang buronan teringat ketika ia berada dalam
pangkuan Ibunya. Betapa nyaman dan menenangkan suasana kala itu. Suara lembut
nyanyian sang Ibu dan pelukan hangat yang mendekap seluruh badannya membuat si buronan
tenggelam dalam ingatan. Mungkin ia merasakan hal yang sama di saat ini.
Walaupun kenyamanan itu sedikit terganggu dengan rasa sakit karena peluru di
dadanya. Rasa sakit yang mengingatkannya kembali ke Ibunya yang kala itu
meninggal di depan kedua bola matanya. Ibu yang meninggal terkena tembakan
salah sasaran dari aparat yang kala itu tengah berusaha memberhentikan seorang
yang dianggap mereka melawan. Kala itu sang buronan hanya bisa terdiam, antara
sedih, takut, dan marah akan kenyataan. Tatapan kosong dari sang buronan
menyimpan banyak dendam pada aparat dan semua kejahatan. Rasa dendamnya kian
membabi-buta tatkala sang buronan menemui fakta bahwa sang aparat dapat lepas
dari hukuman.
Selepas kehilangan sosok yang sangat berarti, sang buronan
terlahir menjadi manusia baru. Manusia yang memimpikan kedamaian. Manusia yang
memimpikan negeri tanpa penindasan. Manusia yang memimpikan dunia tanpa
kejahatan. Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, dalam pikirannya
menemukan bahwa puncak rantai kejahatan adalah mereka yang dikatakan sebagai
pembasmi kejahatan. Dalam menemukan dirinya yang baru itulah sang buronan
menyusun berbagai macam siasat penghakiman atas segala yang telah sang buronan
rasakan. Siasat yang kemudian mengatarkan sebuah peluru menembus dadanya tanpa
ampun.
Semua dimulai kala siang itu. Matahari
tampak sangat bersemangat. Peluh yang turun di dahi pembersih jalanan turun
dengan tergesa-gesa. Suasana panas yang menyelimuti kota Samsara berubah
menjadi mencekam tatkala sebuah pos polisi lalu lintas tiba-tiba meledak.
Ledakan yang tak hanya membuat sang pembersih jalanan itu kaget sejadi-jadinya
namun juga mengakhiri hidup 2 orang aparat. Bingung melanda orang-orang di
sekitar TKP. Pertanyaan apa? Siapa? Dan bagaimana? Berputar-putar di pikiran
orang-orang.
Dari seberang jalan, di atas sebuah
gedung 37 lantai, seseorang dengan pakaian serba hitam menatap puas akan
ledakan itu. Senyumnya tertutupi buff hitam,
namun matanya tak bisa mengingkari senyumannya. Ia adalah sang buronan. Aksi
pertama sang buronan yang ia susun di buku catatannya berjalan dengan rapi.
Mulai dari tempat, waktu, dan aparat yang menjadi korban sesuai dengan apa yang
dia rencanakan. Campuran asam nitrat dan asam sulfat yang ia racik menjadi TNT
telah membawanya pada kesuksesan misi penghakiman.
Sang buronan memang telah
mendeklarasikan dirinya sebagai seorang Anarkis. Berbagai macam bacaan yang
dianggap berbahaya bagi sang pemegang kuasa telah dilahap habis. Berbagai macam
diskusi yang selalu disusupi intel dari pihak aparat tak lepas dari tujuannya.
Sebagai seorang yang terlahir kembali menjadi seorang Anarkis, sang buronan
merubah semua stigma dan pandangannya terhadap aparat dan pemerintah. Dia
menganggap bahwa segala bentuk kejahatan lahir dari pemerintah dan aparat yang
rusak. "Pada akhirnya, semua bentuk kemiskinan dan penindasan adalah
tanggungjawab pemerintah. Mereka yang membuat yang miskin semakin miskin, dan
yang tertindas makin tertindas." Tulis sang buronan pada halaman kedua
buku kecil yang berisi catatan kehidupannya sebagai anarkis.
Seperti tindakannya di pos polisi
siang itu, ketika dia sengaja membiarkan dua orang polisi lalu lintas menangkap
dirinya dengan dalih menggunakan sepeda motor dengan knalpot bising. Namun si buronan
bukanlah orang sembarangan. Ia paham betul bahwa permainan ini bukan sekadar
soal bersembunyi dan menyerang secara membabi-buta. Ia tahu, keadilan yang ia
impikang memerlukan pengorbanan. Maka, dengan sengaja, ia biarkan dirinya
dibawa ke pos polisi lalu lintas siang itu. Senyum kecil menghiasi bibirnya
yang tertutup buff hitam, seolah ia tengah memegang permainan atas kendalinya
sendiri.
Pos polisi itu memang sederhana.
Hanya sebuah bangunan kecil di sudut perempatan jalan dengan tembok kusam dan
kaca-kaca yang retak. Dua petugas aparat yang menahannya tak menunjukkan
tanda-tanda kecurigaan, hanya rasa kesal pada pengendara berknalpot bising yang
mengganggu ketenangan. Namun, dalam ketenangan semu itu, sang buronan tengah
menulis sejarahnya sendiri.
“Ini maksudmu apa membawa motor
dengan knalpot bising? Kau tahu aturannya, bukan?” Suara salah seorang petugas
dengan perut buncit dengan lantang memecah kesunyian di ruang sempit itu.
Sang buronan hanya diam. Dalam
ketenangannya, ia biarkan tangan sang aparat menggeledah isi tasnya, mencari
sesuatu yang bisa dijadikan bukti pelanggaran tambahan yang agaknya akan
menjadi cuan tambahan untuk mereka. Waktu berlalu seperti aliran air di sungai
dangkal, deras dan menegang. Tangan mereka menemukan sesuatu—sebuah buku kecil
berwarna hitam dengan sampul lusuh. Buku yang harusnya bukan sesuatu yang
membuat mereka tertarik seperti biasanya, namun pada detik itu juga, fokus mereka
tertuju pada buku hitam itu dan membukanya.
“Apa ini?” tanya sang aparat,
setelah membaca halaman pertama. Tulisan tangan yang rapi dengan gaya latin,
dan penuh amarah, terpampang jelas: “Aku
hidup antara kebaikan dan kejahatan. Namun, kejahatan terbesar adalah yang
terletak di balik seragam.”
“Jadi, kau ini musuh negara, ya?” Ejek
sang aparat dengan suara yang sarat dengan rasa superioritas.
Sang buronan tetap diam dan tenang.
Matanya hanya memandang sinis ke arah mereka, seperti sedang masuk ke dalam jiwa
mereka, menelusuri dosa yang mereka sembunyikan di balik seragam kebanggaannya.
Dalam sepersekian menit, segalanya
menjadi berubah. Sebuah ledakan yang mendengungkan telinga mengguncang pos
polisi kusam itu. Cahaya ledakan menyilaukan mata, berbagai barang dan serpihan
beterbangan, api dengan cepat membakar isi bangunan itu, seolah-olah Tuhan
tengan menurunkan neraka di tengah-tengah kota Samsara. Tubuh kedua aparat itu
terpental ke dinding, tak lagi bergerak, meninggalkan jejak darah dan
kepanikan.
Namun, di tengah kekalutan itu, sang
buronan masih berdiri tegak. Asap dari ledakan menyelimuti tubuhnya, membuatnya
tampak seperti seorang yang keluar dari hutan berkabut. Langkahnya tenang,
setenang permukaan air di sungau yang dalam. Senyumnya mengembang di balik buff
hitamnya yang lusuh terkena debu ledakan.
“Biarkan segala yang rusak dan sulit
diperbaiki untuk dihancurkan.” Gumamnya dalam hati bak seorang pemenang.
Ia berjalan keluar, meninggalkan pos
polisi yang tengah membara itu. Kota Samsara diselimuti kegemparan. Jeritan,
sirene, dan kebingungan bercampur dengan aroma ledakan, seperti alunan musik
tragis dalam film-film Romawi.
Namun, di dalam hatinya yang
terdalam, tersembunyi rasa kehilangan yang tak terlupakan, tersembunyi di balik
kemarahan yang menyala-nyala dan dendam yang tak kunjung padam. Ingatan tentang
ibunya terus menghantuinya. Senyuman lembut dan dekapannya hangat—semuanya
hanyalah oasis yang terpatri dalam kenangan belaka. Ia tak akan berhenti.
Bagi si buronan, dunia telah
menjelma menjadi medan pertempuran, dengan dia sebagai prajurit terakhir yang
masih berdiri, memperjuangkan apa yang diyakininya sebagai keadilan sejati.Namun
pada akhirnya, apakah yang sebenarnya dikejar olehnya? Apakah itu benar-benar
keadilan, atau hanya pantulan-pantulan dari luka masa lalu yang terus membimbingnya
menuju kehancuran?
Di kejauhan, deru sirene polisi
semakin mendekat. Namun si buronan tak menggubrisnya. Dengan langkah pasti, ia
melangkah maju, menyatu dengan kegelapan malam. Satu langkah, satu misi, satu
peluru lagi, membawanya menuju ujung yang hanya ia sendiri yang mengerti.
***
Malam itu setelah ledakan di pos
Polisi, kota Samsara berubah menjadi medan perburuan yang sengit. Sirene polisi
mengaung, mengejutkan keheningan yang biasanya menyelimuti lorong-lorong
sempitnya. Langit, bagai kanvas hitam, dipenuhi kilatan lampu merah dan biru.
Seluruh aparat keamanan dikerahkan dengan sigap. Wajah sang buronan terpampang
besar di layar-layar di sepanjang sudut kota, disertai tulisan tegas: BURONAN
BERBAHAYA – WASPADA!
Sementara itu, sang buronan terus
bergerak, melompat dari satu bayangan ke bayangan lain, menembus lorong-lorong
gelap dan atap-atap gedung yang menjulang tinggi. Walaupun tak gentar
menghadapi kematian, ia ingin memastikan setiap langkah yang diambilnya tidak meninggalkan
jejak yang berarti. Di tengah pelariannya, ia mendapati informasi dari radio
kecil yang selalu ia bawa: “Pos polisi pusat menjadi sasaran terbaru
serangkaian serangan anarkis. Dua aparat luka parah dan tengah dirawat
intensif. Buronan utama masih berusaha menghindari penangkapan.”
Sang buronan tersenyum kecil.
Luka-lukanya nampak sepele jika dibandingkan dengan luka-luka yang telah ia
alami selama bertahun-tahun. Luka-luka kehilangan, ketidakadilan, dan
pengorbanan yang mendorongnya memilih jalannya saat ini. Namun, di tengah rasa
kemenangannya, perasaan lain mulai menyelinap perlahan: rasa lelah. Ia sadar
bahwa niat balas dendamnya telah tumbuh menjadi bara yang terus membara,
mencengkeram tubuh dan jiwanya dengan erat.
Malam semakin larut. Sang buronan
menyusup ke dalam sebuah bangunan tua, memperhatikan setiap gerak aparat
keamanan yang menyusuri setiap sudut kota. Mata tajamnya dengan cermat mencatat
setiap langkah, pola penjagaan, interaksi melalui komunikasi radio, dan
strategi yang mereka terapkan. Ia sadar bahwa waktunya untuk kabur semakin
menipis. Saat mentari mulai menyingsing, sang buronan memutuskan untuk
menghadapi mereka. Dengan mantap, ia melangkah keluar dari bangunan tua
tersebut, menembus kabut pagi yang menyelimuti. Berdiri di tengah lapangan
terbuka, ia menantikan kedatangan mereka. Dalam benaknya, ia terhanyut dalam
misi asalnya: menciptakan dunia tanpa penindasan, walaupun ia harus menjadi
korban terakhir yang tersisa.
Pada akhirnya, mereka datang dengan
perasaan marah yang tak tertahankan. Puluhan aparat mengepungnya,
senjata-senjata pembunuh itu diarahkan ke tubuhnya yang berdiri tanpa
perlindungan.
"Angkat tangan! Jangan
bergerak!" Teriak salah satu aparat, suaranya tegas namun bercampur dengan
kemarahan.
Sang buronan hanya tersenyum. Dengan
perlahan ia membuka tasnya, memperlihatkan buku kecil miliknya, seolah ingin
menunjukkan bahwa semua yang ia lakukan adalah hasil dari pemikiran yang
mendalam, bukan sekadar amarah tanpa dasar.
“Ini bukan soal aku atau kalian,”
ujar sang buronan, suaranya tenang namun penuh keyakinan. “Ini soal dunia yang
perlu diperbaiki. Dan aku hanya bagian kecil dari itu semua.”
Detik berikutnya terasa seperti
berabad-abad. Para aparat saling bertukar pandang, terjebak dalam kebingungan
antara menangkap atau menembak.
Kemudian, suara tembakan menusuk keheningan
pagi.
“DOR!”
Sebuah peluru keluar dari moncong
Glock 17. Sang buronan terhuyung dan jatuh berlutut ke tanah, darah segar
merembes dari dadanya, mengotori tanah yang dingin pagi itu. Dalam keheningan
yang mencekam, ia kembali ke ingatannya. Pelukan hangat sang ibu, suara lembut
yang menidurkannya. Perlahan, rasa sakit di dadanya sirna, digantikan rasa
damai yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dalam sisa napasnya, ia berbisik
lirih, "Ibu….. aku pulang. Tunggu aku sebentar."
Tubuh sang buronan akhirnya roboh ke tanah. Di
sekitar tubuhnya, buku kecil itu terjatuh, terbuka pada halaman terakhir. Di
sana tertulis: "Keadilan sejati lahir
dari keberanian untuk melawan. Jika mati adalah jalan untuk itu, maka biarlah
aku menjadi awal dari jalan keadilan itu sendiri.”
Keheningan kembali menyelimuti kota
Samsara. Seperti sebuah seremoni untuk salah satu perjuang keadilan yang
dimiliki oleh kota itu. Keheningan itu perlahan sirna oleh suara burung yang menyambut
hari baru dan juga menyambut jasad seorang buronan yang kini menjadi bagian dari
sejarah.
Oleh: Syafni Nur Rakhman
Posting Komentar