Semua Guru harus Mengenal Butet Manurung si wonder women Orang Rimba Pedalaman

 

Butet Manurung merupakan penggagas Sokola Rimba yang mengabdikan hidupnya bagi kelangsungan pendidikan di daerah pedalaman di Indonesia. Sosok perempuan yang akrab dipanggil Butet Manurung ini memiliki nama lengkap Saur Marlina Manurung. Lulus dari Universitas Padjajaran dengan program studi Antropologi dan Sastra Indonesia. Sedari kecil ia menyukai petualangan di alam bebas. Dari sinilah ia mencoba melamar pekerjaan sebagai fasilitator pendidikan pada komunitas Orang Rimba untuk LSM yang bergerak di bidang konservasi di pedalaman Jambi.

Pemikiran tokoh Butet Manurung dalam proses ia mendirikan Sokola Rimba untuk suku pedalaman di Indonesia ditujukan untuk memberikan pendidikan yang akan menjadi bekal bagi kelangsungan budaya dan tanah mereka, ini sebagai proteksi internal terhadap kepentingan orang-orang yang ingin merusak alam mereka secara serakah.

Butet Manurung mengawali perkenalannya dengan orang rimba saat menjadi fasilitator proyek bantuan sebuah yayasan LSM. Ketika bergabung, ia menghadapi tantangan yang tidak mudah ketika melakukan pendekatan bagi Anak Suku Dalam yang tidak merasa nyaman dengan kehadiran orang asing di daerahnya. Hampir 7 bulan ia hanya berkutat untuk berbaur dan berusaha diterima orang rimba. Mendapatkan kepercayaan orang rimba tidaklah mudah. Sebab pengalaman mencatat rekam jejak buruk orang-orang asing yang mengusik ketenangan mereka sebagai masyarakat yang lugu.

Diceritakan Butet menjadi guru orang rimba di pedalaman hulu sungai Makekal, terpencil di hutan Bukit Duabelas di Jambi. Dalam bukunya yang berjudul Sokola Rimba—yang juga telah difilmkan, suku Anak Dalam digambarkan sebagai masyarakat pedalaman yang lugu dan polos. Butet mengakui Orang rimba seringkali menjadi korban dari pembodohan orang-orang yang berkepentingan di daerah mereka. Sokola Rimba menjadi ruang baginya untuk mewujudkan pendidikan yang melahirkan sikap kritis terhadap persoalan yang mereka hadapi sebagai suku Anak Dalam, serta melindungi mereka dari ketertindasan. 

Kebanyakan suku pedalaman mendapatkan bantuan dari luar selain dari mereka sendiri, keinginan  Butet adalah menjadikan suku Anak Dalam ini berdikari atas diri mereka sendiri. Bantuan ini bukan bersifat materil namun bagaimana mereka dapat menghadapi ketertindasan yang datang dari pihak luar dengan usaha mereka sendiri. Hal ini supaya meminimalisir bentuk kepentingan yang merugikan mereka. 

Penolakan masyarakat Suku Anak Dalam yang Butet hadapi tidak menyurutkan semangat juangnya untuk menerabas rasa curiga mereka terhadap dirinya. Butet dengan segenap usaha akhirnya mempu membuat kepercayaan mereka tumbuh dan membuka diri. Hasil yang nampak adalah sosok wanita luar biasa ini mampu menghantarkan Orang Rimba menguasai baca dan tulis. 

Berkat usaha kerasnya dalam bidang pendidikan ini, Butet dianugerahi banyak penghargaan dari dalam maupun luar negeri, diantaranya yakni LIPI dan UNESCO.

Salah satu moto hidup yang ia katakan dalam sebuah wawancara adalah “ Pendidikan harus menjadi memberi manfaat bagi kehidupan seseorang serta dapat menjadi aktualisasi diri. Senada dengan hal tersebut pendidikan Indonesia saat ini mengadopsi pendidikan yang berpihak dan memerdekaan pada siswa seperti pengadaan Kurikulum Merdeka. Aktualiasasi pemikiran Butet cocok dengan kondisi pendidikan kita saat ini yang ingin berbenah memanusiakan siswa sebagai pihak yang aktif bukan pasif. Pasif ini bermakna pendidikan bukan sekadar transfer dan jejalan materi namun harus berangkat dari realita yang siswa hadapi. Pendidikan harus memperhatikan kebutuhan siswa itu sendiri dan mendorong mereka dalam kehidupan yang bermakna, memenuhi apa yang kurang, memoles potensi yang sudah ada dalam diri siswa.

Sejak tahun 2003 dalam program berpetualangan sambil bermanfaat dibawah naungannya ia mampu mengantarkan 60 relawan dan membangun sekolah sebanyak 15 buah (data: tahun 2019 https://www.sokola.org/ ) bagi lebih 10.000 anak di sembilan provinsi di Indonesia. Dan akan terus bertambah seiring waktu. 

Untuk pemilihan tempat-tempat yang masuk dalam kriteria suku pedalaman. Ia berujar bahwa hingga kondisi Indonesia saat ini, di tempat pedalaman biasanya dihuni oleh orang rimba yang masih menjunjung tinggi tradisi adat istiadat, namun rentan terhadap pihak-pihak asing yang mengambil keuntungan dari kondisi mereka yang buta huruf. 

Suku Boti di Timor dan suku Baduy di Banten tidak termasuk dalam kriteria dengan alasan tidak ada masalah yang timbul dari kedua suku walaupun hidup dalam buta huruf karena tidak ada pihak luar yang mencoba menjajah mereka dengan kepentingan yang merugikan mereka. Begitu juga suku pedalaman di daerah lain yang lebih membutuhkan air daripada pendidikan, sehingga Butet merasa tiap suku pedalaman memiliki perbedaan terhadap kebutuhan pendidikan.

Mengapa pendidikan?

Awalnya memang penolakan ada sebab orang rimba menganggap pendidikan adalah hal yang tabu dan kebanyakan pengalaman mengajarkan orang-orang yang datang kepada mereka dengan memakai pencil adalah orang-orang jahat. Dalam bukunya ia bercerita pendekatan yang terjadi memang lama tahun 1999 yang awalnya bekerja untuk konservasi dan terjadi pergulatan nilai hidup yang ia percayai disebabkan oleh satu peristiwa.

Pada satu peristiwa dimana orang-orang masih menebang kayu dan mengeksploitasi hutan orang Rimba,  Butet menjadi sadar bahwa pendidikan tidak sekadar pintar dengan baca dan tulis, namun harus menjadi solusi terhadap permasalahan mereka secara nyata. Pendidikan jika tidak menyentuh masalah di kehidupan tidaklah berguna. Titik balik ini menjadikan Butet sadar keterwakilan mereka dengan usaha mereka sendiri akan meminimalisir kepentingan-kepentingan pihak-pihak yang seharusnya menjadi sosok pelindung bagi tanah rimba mereka. Dengan mewakili diri mereka sendiri mereka lebih tahu apa yang mereka butuhkan. 

Sekolah untuk Kehidupan

Sekolah untuk kehidupan adalah istilah yang pas untuk menggambarkan pemikiran Butet terhadap proses pembelajaran. Mengajarkan baca tulis dengan mengutamakan bahasa ibu (local language) yang mereka kuasai adalah keharusan. Ini merupakan identitas yang perlu dipraktikkan dan erat kaitannya dengan cultural responsive teaching yang sering kita dengar dalam pendidikan yang berpihak pada peserta didik. Keterwakilan bahasa ibu akan memperkuat budaya yang ada dalam diri anak rimba. Mengajarkan baca tulis dengan bahasa yang asli akan mengajarkan mereka untuk meninggalkan budaya mereka sedikit demi sedikit. 

Pendidikan local yang diimplementasikan Butet adalah belajar dari lingkungan yang mereka kenali.  Seperti di daerah pedalaman akan sangat berguna mempelajari berburu, memanjat pohon sedangkan di perkotaan metamorfosis belalang di taman sekolah dan membuat makanan khas daerah tersebut menjadi hal yang bisa dikenalkan. Dengan alasan inilah proses pembelajaran harus menekankan pada kebutuhan dan latar belakang siswa yang berbeda-beda.

Ilmu yang dipelajari di sekolah seringkali tidak benar-benar berguna bagi kehidupan anak di dunia nyata. Nah pemikiran dan praktik yang dilakukan Butet adalah siswa tidak dituntut untuk mempelajari hal baru yang tidak berhubungan dan berguna bagi kehidupannya, mereka justru harus diberi ilmu tambahan dari apa yang mereka sudah berpotensi di bidangnya. Pendidikan mengajarkan ilmu pergi jika diseragamkan tanpa melihat latar belakang siswa tersebut. Singkat kata, pendidikan bagi Butet adalah menambah runcing senjata (re: potensi) yang akan membuat siswa dapat menjalani kehidupan yang bermakna. 

Untuk apa mempelajari banyak hal jika tidak berguna dan tidak terpakai di dunia nyata mereka? 

Meneladani Butet sebagai seorang guru

Dari kisah dan pemikiran Butet Manurung dalam perjalanannya memperjuangkan pendidikan bagi orang-orang rimba, saya menyadari bahwa pendidikan seyogyanya tidak menghilangkan keciri khasan budaya yang meliputi seseorang dalam mempelajari suatu hal. Justru semua budaya itu harus ditebalkan dari perspektif tempat masing-masing siswa berasal. 

Guru harus belajar melihat nilai luhur budaya dalam diri siswa agar senantiasa terawat dan terlestarikan. Guru harus mencoba memaknai budaya dari makna siswa sendiri dan tidak mudah menghakimi perbedaan budaya yang terkadang tidak relate dengan nilai yang guru pegang. Peran guru bukan menjejalkan ilmu pengetahuan  semata namun mampu memahami sudut pandang siswa sebagai seorang individu yang berpikir, memiliki kemauan dan keinginan yang beragam. 

Siswa memiliki nilai yang harus dikembangkan dan dekat dengan kehidupan nyata, bukan ilmu mengawang yang tidak akan terpakai. Guru mempunyai kemampuan untuk menumbuhkan bakat dan minat siswa kearah yang positif. Dengan mengenali latar belakang budaya, nilai hidup dimana siswa hidup, dan adat istiadat, guru diharapkan mampu memberikan pendidikan yang membumi. Hal ini berguna bagi kehidupan siswa bahkan menambah apa yang perlu dipenuhi potensi yang ada pada diri siswa.

Posting Komentar