Topik
3 membahas mengenai identitas maanusia Indonesia. Setelah merenungi dan
menghayati materi mengenai identitas manusia Indonesia pada topik ini, penulis
menyimpulkan bahwa istilah ini termaknai sebagai representasi Indonesia yng
memiliki segudang keberagaman dari Sabang hingga Merauke. Manusia Indonesia
disebut demikian sebab bangsa ini terdiri dari banyak kepingan budaya dan
kehidupan sosial masyarakatnya. Perbedaan memang sebuah keniscayaan,
kedatangannya bukan untuk dikotak-kotakkan namun saling mengisi agar terjadi
harmoni yang indah dan selaras dalam bingkai warna-warni ragamnya.
Begitu
pula dalam dunia pendidikan, keberagaman dalam tiap siswa adalah modal yang
berharga bagi guru untuk mengerahkan pada arah gerak yang positif. Menilik
kembali pada topik 1 (Perjalanan
Pendidikan Indonesia), Ki Hadjar Dewantara telah sadar bahwa sejak lahir
manusia telah dikarunia kodrat alam masing-masing; sifat, potensi, kelemahan
dan kelebihan yang melekat secara alamiah pada tiap individu harus diperlakukan
dengan hormat. Penghargaan setinggi-tingginya dengan mengakui keunikan tiap
individu harus dijadikan modal pendekatan pengajaran yang mengakomodir.
Selanjutnya kodrat zaman yang mencakup tuntutan zaman siswa harus mampu
mengikuti perkembangan zaman yang bergerak dinamis ini. Guru sebagai tenaga
pendidik yang bersinggungan langsung dengan siswa harus memahami konsep kodrat ini,
agar tidak adalagi siswa yang dianggap tidak pintar sebab memang bukan hal
tersebut yang menjadi keahliannya.
Pada
topik 2 (Dasar Pendidikan Ki Hadjar Dewantara), Ki Hadjar Dewantara mencoba
menyadarkan bahwa tujuan pendidikan seyogyanya menjadi jalan menuju kebahagiaan
dan keselamatan baik sebagai manusia dan bagian dari anggota masyarakat. Guru
sebagai pendidik (re:fasilitator) memoles dasar potensi yang ada dalam
tiap-tiap individu bukan merubahnya. Kekuatan kodrat tersebut memerlukan
penuntun, pengarah dan penyempurna serta pemberi teladan untuk membantu siswa
hidup secara terdidik, terampil, berilmu sebagai bekal hidup agar ia mandiri di
kehidupannya kelak. Sekali lagi KHD menegaskan pendidikan menciptakan ruang
bagi siswa untuk bertumbuh secara utuh agar mampu memuliakan dirinya dan orang
lain (merdeka batin) serta menjadi mandiri (merdeka lahir).
Ki
Hadjar Dewantara juga menjabarkan budi pekerti sebagai motor penggerak
keselarasan hidup yang berasal dari pikiran, perasaan, kehendak dan kemauan
untuk menghasilkan sesuatu dari proses berpikir dan “merasa” tersebut. Budi
pekerti dalam istilah KHD adalah perpaduan Cipta (kognitif), Karsa (afektif)
hingga menghasilkan Karya (psikomotorik). Keselarasan ini dilatih melalui
proses berpikir yng melahirkan kesadaran diri yang mengenali kekuatan yang ada
pada diri siswa, kemudian akan terlatih dalam kelola kepribadian yang menyadari
bahwa ia adalah bagian dari mahluk sosial yang hidup berdampingan bersama
manusia lainnya, sehingga akan melahirkan keputusan atau usaha yang bertanggung
jawab yang bukan hanya merdeka untuk dirinya namun juga mengusahakan
kemerdekaan bagi orang lain.
Ki
Hadjar dalam konsep Trilogi Ingarso Sung tulodo, ing Madyo Mangun Karso, Tut
Wuri Handayani mengharapkan guru sebagai individu yang digugu lan ditiru
menerapkan proses belajar dengan teknik sistem among. Sistem among adalah
pendidik sebagai pengasuh dan pembimbing yang memberikan unsur asah, asih, asuh
yang kuat agar siswa dapat berkembang dan bertumbuh secara merdeka,
tidak terdidik jika masih menerapkan sistem perintah dan paksaan.
Nilai-nilai
kemanusiaan seringkali luput dalam proses pendidikan yang menekankan hasil
semata. Banyak siswa berbondong-bondong mengejar ketertinggalan nilai akademik
semata sebab terpampang jelas tolak ukur kelulusannya. Nilai-nilai kemanuasiaan
yang tidak jelas ukurannya apa, kadang tersisihkan dalam aspek pembelajaran.
Namun dewasa ini, pendidikan Indonesia semakin berbenah setidaknya yang nampak
dari ide segar kurikulum merdeka yang menekankan daya intelektual dan daya
nilai kemanusiaan yang harus diterapkan dalam proses belajar. Setidaknya ada
tiga hal hakiki mengenai nilai kemanusiaan khas Indonesia, yakni
kebhinekatunggalikaan, nilai-nilai Pancasila dan religiusitas. Karakter
kebhinekatunggalikaan tercermin dalam keberagaman siswaa yang terdapat di
berbagai daerah di Indonesia. Budaya, suku, ras, etnik, bahasa dan agamaa
menjadi sumber kebhinekaaan. Sedangkan nilai Pancasila menjadi ruh dan jiwa Indonesia, nilai
Pancasila menjaadi sumber pedoman dalam mengatur jalannyaa interaksi siswa
dalam bermasyarakat, bernegara dan berbangsa multikultural. Dan yang terakhir
sisi religiusitas menjadi penyeimbang antara nilai intelektual yang berjalan sesuai koridor kemaslahatan
manusia. Tanpa sisi religiusitas, modal pengetahuan tidak akan membawa
kemajuaan peradapan dan kemaslahatan bagi manusia, sedangkan manusia berilmu
akan berjalan tanpa arah jika tak punya pedoman beragama/religius.
Profil penulis
Solikhatun
Khasanah dengan sapaan Ana, saat ini sedang menempuh studi PPG Prajabatan di
Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Seorang pendidik yang aktif berpetualang,
menyukai kegiatan sosial dan anak-anak, ia juga agak suka membaca dan menulis.
Dapat dihubungi di media sosial instagram @annanisaca
Posting Komentar