Oleh: Masnunah Nurul Faizah
Lagu ”Love Story” milik penyanyi-penulis berkebangsaan Amerika Serikat terdengar menggema dalam ruangan. Nampak seorang perempuan menganggukkan kepala ikut menyanyikan lagu tersebut dengan begitu semangat. Jemari lentiknya sesekali menari di atas keyboard laptop, dia sedang mengerjakan tugas kuliahnya.
“Romeo take me somewhere, we can be alone
I’ll be waiting, all there’s left to do is run
You’ll be the prince and I’ll be the princess
It’s a love story, baby, just say yes-
Romeo save me, they’re trying to tell me how to feel
This love is difficult, but it’s real
Don’t be afraid, we’ll make it out of this mess
It’s a love story, baby, just say yes
Oh, Oh,”
Senandung perempuan tersebut mengikuti irama lagu milik Taylor Swift.
Kalian pikir dia bersenandung tanpa membayangkan sosok lelaki yang dia idamkan? Lihat, betapa antusiasnya dia menyanyikan lagu tersebut. Dengan mata yang terpejam menikmati alunan musik tersebut, memori otaknya sibuk memutar bayangan wajah sosok lelakinya.
Ups! Maaf, maksudnya, lelaki yang dia idamkan.
Faizah, namanya. Panggil saja perempuan tersebut dengan nama kecilnya, Icha. Tidak nyambung memang, namun begitulah kenyataannya. Kalau kata teman-teman Icha, “Ikan kembung nabrak ombak, ga nyambung, Mbak,” Konon katanya, nama Icha diambil dari kata Izah dengan tujuan mempermudah dalam penyebutannya. Maklum saja, Icha ini orang Jawa, bisa saja orang lain tidak memanggilnya Izah, tetapi Ija. Jadi, sebelum mendapat panggilan Ija, keluarganya memberi nama Icha.
Sama seperti remaja pada umumnya, kesibukan Icha saat ini kuliah, scroll video tiktok, makan, dan yah tentu saja masih menjadi beban orangtua.
Saat ini Icha menduduki bangku kuliah semester tiga, prodi peternakan menjadi pilihannya sedari dulu SMA. Dia sendiri tidak tahu apa yang membuatnya tertarik pada prodi tersebut, dia pikir prodi tersebut cukup mudah untuk dilampauinya. Namun siapa yang menyangka bahwa dalam perkuliahannya terdapat praktek yang menurutnya aneh, seperti mengukur diameter kuning telur.
Helaan napas keluar bersamaan dengan berhentinya lagu Love Story, jemarinya juga berhenti mengetik laporan praktikum yang tengah dikerjakan. Sedikit merenggangkan otot, dia rasa matanya sudah cukup lelah setelah menatap layar laptop berjam-jam. Sesaat kemudian matanya melotot begitu melihat angka jam yang tertera di pojok kanan bawah layar laptopnya.
“Woy udah jam setengah satu malem,”cetusnya berjingkat. Tanpa basa-basi dia menutup laptopnya, lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur yang sedari tadi seperti menggodanya.
“Ya Allah, besok bisa telat kalo jam segini belum tidur,” monolognya, perlahan dia memejamkan mata, berharap hari esok menyenangkan baginya.
Raut tak bersahabat tercetak jelas pada wajah Icha. Alis yang hampir menyatu, mata menatap tajam, dan decakan sesekali keluar dari mulutnya. Jangan bertanya dia sebal pada siapa, dia sebal pada dirinya sendiri karena beberapa alasan. Pertama, dia bangun terlambat. Alarmnya sudah berbunyi nyaring sedari pukul lima pagi, namun matanya tidak bisa diajak kompromi. Kedua, motornya tiba-tiba tidak bisa dihidupkan.
“Ning, kenapa sih harus mogok sekarang?” ucapnya pada motor matic yang diberi nama kuning.
Berkali-kali dia tarik-buang napas, berharap rasa sebalnya dapat sedikit berkurang. Dua puluh menit lagi kelasnya akan dimulai, ditambah dosen pagi ini terkenal akan killer. Kalau sudah begini tidak ada pilihan lain selain memesan ojek online melalui aplikasi kuning.
Ting!
Notif masuk saat driver menerima orderannya. Buru-buru dia membatalkan orderannya itu karena alasan tersendiri. Dicobanya lagi sampai lima kali, namun tetap orang tersebut yang menerima orderannya. Matanya memicing takut kala driver tersebut menghubunginya melalui fitur pesan yang tersedia dalam aplikasi tersebut.
“Cobaan pagi apalagi ini,” serunya frustasi. Dibukanya aplikasi ojek online yang lainnya. Helaan lega berhasil keluar setelah dia mendapatkan driver baru dengan waktu tunggu hanya dua menit.
Kelas sudah akan dimulai sepuluh menit lagi, sementara waktu perjalanannya dari kos ke kampus membutuhkan waktu lima belas menit. Dalam hati dia terus melafalkan sholawat, do’a, harap-harap dosennya datang terlambat atau keinginan paling baiknya dosennya tidak datang.
Tin!
“Atas nama Kak Icha?” ucap driver ojek online dengan jaket hijaunya, membuat Icha spontan mengangguk dan meminta helm.
“Sesuai titik ya, Kak,” lanjutnya.
“Iya, Pak. Ayo kebut ya, Pak, saya sudah telat,” balas Icha dengan menggebu. Pagi ini sudah sangat menguras energinya.
Motor driver tersebut baru saja berjalan dengan seimbang, tapi seruan dari belakang menginterupsi mereka untuk tidak jalan terlebih dahulu. Wajah Icha seketika tegang.
“Mbaakk, Mass, berhenti! Mbak itu tadi sudah membatalkan saya. Sudah lebih dari empat kali membatalkan saya. Kasih tau dia, Mas, saya sudah jauh-jauh menjemput tapi dibatalkan!” seru orang tersebut, diduga driver yang sedari tadi di-cancel oleh Icha.
“Pak ayo jalan aja, Pak, saya takut dengan driver itu,” ucap Icha lirih, dia sudah lemas.
“Baik, Kak,” motor tersebut kembali berjalan dengan cukup cepat, tanpa peduli dengan seruan orang tersebut.
Di tengah perjalanan driver tersebut membuka percakapan, “Tadi kenapa sama driver itu?”
“Ya Allah, Pak, saya sudah lebih dari tiga kali dipalakin. Minta uang tambahan, Pak, bukannya pelit, tapi mintanya itu ngga kira-kira, Pak,” jelas Icha menggebu.
“Maaf ya, Pak, tadi jadi sempat ribut dulu,”
“Oh iya, ngga apa, saya juga ngga kenal,”
Hening kemudian, sampai ban motor itu pelan-pelan berhenti di depan gedung fakultas Icha. Selepas membayarnya, Icha dengan cepat naik ke lantai tiga, ruangan kelasnya akan dimulai. Demi apapun dia sudah telat sepuluh menit. Dosennya hanya memberi jatah terlambat lima menit.
***
Ceklek!
Tangan Icha membuka pintu dengan perlahan, dia sedikit menunduk memberikan salam kepada sang dosen. Sayang, bukan senyuman yang di dapat, dia malah mendapatkan tatapan tajam.
“Mau kemana? Silakan keluar jangan masuk kelas saja!” ucap dosen tersebut dengan tegas.
Kaki Icha rasanya sangat lemas, dia sudah berjuang untuk berangkat ke kampus. Hasilnya dia tidak diperbolehkan untuk ikut kelas.
“Apes banget pagi ini, bakal dapet kebahagiaan apa abis ini, Ya Allah,” lirihnya setelah keluar dari kelas. Menghela napas berharap kesabarannya bertambah.
Posting Komentar