Matahari muncul seperti biasanya dari arah timur dan menyinari setiap ruangan Pon.Pes Al Anwar yang bernuansa hijau, ciri khas pondok tersebut. Ia menyinari setiap santri- santri yang ada di Pon.Pes Al Anwar yang sedang antri mengambil kos makan masing-masing. Ya, inilah Pondok Zain, santri yang terkenal paling bandel di pondok tersebut. Zain dulu sebelum mondok tinggal bersama kakek-neneknya, karena Zain sudah tidak mempunyai orang tua lagi, dia ditinggal saat umur 5 tahun karena orang tuanya terkena insiden kecelakaan. Zain berumur 17 tahun dengan tinggi 165 cm, dia mempunyai kulit coklat dan berambut agak panjang. Zain dipondokkan karena kakek dan neneknya sudah tidak sanggup membimbingnya. Zain sejak SMP sudah bandel, jadi mereka memutuskan untuk memondokannya saat lulus SMP.
Zain pun terkenal sebagai santri yang paling bandel karena sifat dan pola pikirnya yang selalu membuat pengurus pondok kewalahan mengurusnya. Sampai suatu hari Zain melakukan sesuatu kejahilan terhadap temannya yang berupa menancapkan lidi di bagian kaki temanya yang sedang tidur dan membakarnya atau disebut juga semut arab, hingga membuat temannya menangis karena ulahnya. Kemudian teman Zain yang dijahili oleh Zain itu melaporkan perbuatan Zain kepada pengurus. Lalu pengurus memanggil Zain untuk menghadap ke kantor. Sudah menjadi kebiasaan Zain duduk di dalam kantor dan dilingkari pengurus keamanan untuk diinterogasi.
Usman selaku koordinator Keamanan sudah pusing menghadapi tingkah laku Zain yang semakin hari semakin menjadi-jadi. Jadi hari ini Usman membawa Zain untuk menghadap K.H Muhammad Umar selaku pengasuh pondok tersebut untuk meminta saran bagaimana cara mengatasi Zain yang bandel tersebut.
Ketukan pintu terdengar dari arah luar kediaman K.H Muhammad Umar yang disambut oleh Azam selaku Abi dalem Abah yai.
"Assalamualaikum" ucap Usman.
"Waalaiikumussalam," jawab Azam seraya membukakan pintu untuk mereka. "Enten niku, bade sarapan pagi."
"Owalah nggih, Kula nunggu mawon teng mriki nggih?"
"Nggih Monggo, badeh nopo sii, Man."
"Niki bade ngelapor kalih Abah, Zain buat onar lagi."
"Hufttt... nggih mpun di tunggu mawon," ungkap Azam sembari geleng-geleng kepala
"Nggih, matur suwun"
Azam pun masuk ke dalam untuk menyiapkan sarapan Abah yai dengan Abdi dalem lainnya. usman dan Zain pun duduk bersila di bawah sambil menunggu Abah yai sarapan.
15 menit kemudian.....
Abah yai menemui usman dan Zain yang sudah menunggu.
"Ada apa?"
"Niki bah, Zain Damel keributan Malih"
"Buat masalah apa?"
Usman pun menceritakan kronologi nya kepada Abah yai dari awal sampai akhir. Setelah Usman menceritakan kronologinya Abah yai pun angkat bicara.
"Ya sudah, Zain kamu ambil baju-baju kamu dan bawa ke sini, kamu sekarang pindah jadi abdi dalem aja biar Abah bisa ngawasin kamu."
"Pindah ndalem bah?" tanya Zain dengan raut wajah yang kaget, namun ia tak bisa membantah.
"Iya kamu pindah ndalem aja biar nanti Abah enak mantau kamu."
"Nggih, Bah..."
Selanjutnya Abah yai meminta Usman dan Azam untuk mengurus segala hal terkait perpindahan Zain ke ndalem beliau. Usman dan Zain pun pamit undur diri dan seperti biasa sebelum udur diri Meraka mencium tangan Abah yai terlebih dahulu.
Hari-hari berlalu setelah pindahnya Zain ke ndalem, Zain mulai membaik secara perilaku, tidak sering membuat onar lagi. Bahkan ia sering ikut Abah yai kesana-kemari guna mengisi pengajian.
Suatu hari Abah diundang untuk mengisi pengajian di sebuah desa, tapi Abah sedang ada halangan yaitu sakit di bagian kaki, jadi tidak bisa mengisi acara tersebut. Lantas Abah meminta Zain untuk mengisi acara tersebut. Zain pun kaget karena baru pertama kalinya mengisi acara-acara seperti itu, dan Zain pun belum bisa mengisi acara tersebut, jadi Zain ingin menolak printah Abah yai tersebut.
"Bah, ampun kula sing ngewakili, kula dereng saged."
"Abah percaya, kamu pasti bisa, Zain."
Zain hanya bisa mengangguk, sembari mulai mencari materi di buku-buku hingga bertanya pada santri-santri senior. Beberapa jam kemudian, ia berangkat sendirian dengan kendaraan motor ndalem.
Sesampainya di lokasi, ia disambut oleh Pak Andi selaku tuang rumah. Zain diminta untuk menyantap hidangan yang sudah disediakan terlebih dahulu.
"Mas, katanya abah sakit, njih? Mas Zain nanti yang menggantikan beliau."
"Njih, Pak. Insya allah, semampu saya."
"Matur suwun sanget njih, Mas. Saya percaya ke njenengan, Abah Umar pasti memilih santri terbaiknya."
Ucapan Pak Andi membuat Zain terenyuh, apakah benar bahwa ia santri terbaik yang dipilih? Padahal ia sama sekali tak pantas untuk menyandang gelar itu. Sudah banyak catatan hitam yang membuatnya merasa tidak layak, bahkan sekedar untuk menyandang gelar "santri". Baginya santri adalah sebuah proses belajar terus-menerus yang tak berkesudahan. Bukan gelar yang cuma-cuma didapatkan, saat di tinggal di pondok.
Pak Andi pun meninggalkan Zain lagi untuk kedepan menyiapkan acara. Setelah acara siap, Pak Andi meminta Mas Zain untuk mengisi pengajian tersebut.
"Ampun cemas, Abah ngengken jenengan pasti mpun percaya jenengan pasti bisa" Pak Andi memberinya semangat.
"Njih, Pak. Insyaallah saged."
"Bismillahirrahmanirrahim..." ucap Zain dalam hati.
Pak Andi pun mengantar Zain ke panggung.
Perlahan tapi pasti Zain pun menaki panggung dengan langkah yang agak sedikit gemetaran. Zain pun mengucapkan salam dengan agak grogi dan memulai pengajian tersebut. Seiring berjalannya acara Zain pun sudah mulai bisa mengontrol geroginya karena para audiens yang bisa diajak bercanda dan bergurau. Isi ceramah Zain adalah tentang taubat, ia membawakan beberapa kisah yang menarik, salah satunya tentang Wahsyi, salah seorang yang pernah membuat Nabi bersedih karena membunuh Paman Nabi, namun di akhir hayatnya ia mendapat hidayah.
Di tengah pengajian, ada seorang perempuan yang senang melihat Zain bisa mengisi pengajian, ia pun tersenyum ketika melihat Zain yang bisa membuat para audiens tertawa. Ia terlihat sangat bahagia karena melihat Zain berubah. Perempuan tersebut adalah Dinda, teman masa kecil Zain yang kebetulan pindah rumah di desa tempat Zain ceramah. Ia dulu pernah menyukai Zain, namun karena kenakalannya yang keterlaluan, ia lebih memilih untuk mengurungkan niat itu.
Setelah selesai acara Zain pun pamit undur diri, Pak Andi dan orang-orang di sekitarnya mengucapkan terima kasih banyak karena telah meluangkan waktu untuk mengisi acara tersebut. Zain pun pulang dengan hati gembira karena bisa mengisi acara tersebut dengan lancar.
4 tahun berlalu.....
Zain kini sudah sering mem-badali Abah untuk mengisi pengajian atau acara-acara lain nya, Zain pun sudah terkenal di kalangan pesantren dan desa-desa sekitar.
Kini Zain sudah lulus dari Perguruan Tinggi yang ada di pondoknya. Ia meminta izin untuk melanjutkan kuliah S2 di luar kota, namun Abah belum berkenan. Ia meminta Zain untuk tinggal satu tahun lagi di Pesantren Al-Anwar, sekaligus membantu mengajar para santri.
Beberapa bulan berlalu, Zain semakin kondang sebagai ustaz muda. Hari ini ia diundang di Pondok Al-Huda, sebelum mulai pengajian, diselingi dengan grup Hadroh yang membawakan lantunan shalawat. Mendengar lantunan yang sangat merdu, ia menengok ke sumber suara. Bak melihat bidadari, ia langsung terpana dengan kecantikan perempuan, vokal hadroh tersebut. Buru-buru ia memalingkan pandangan darinya. Setelah acara hadrohan selesai, Zain pun naik ke panggung untuk mengisi pengajian.
Perempuan itu adalah Dinda, kini ia juga terkenal sebagai vokalis hadroh yang biasa diundang di berbagai temnpat. Ia juga baru saja lulus dari salah satu perguruan tinggi agama Islam di Kota sebelah. Seusai pengajian, Zain memberanikan diri untuk menyapa Sang Vokalis.
"Assalamualaikum, Mbak... Tadi Mbak vokalis hadrohnya kah?" Zain pura-pura bertanya pada perempuan itu.
"Waalaikumsalam, Ustaz. Ya Allah, apa ustaz lupa siapa saya?"
Zain langsung kaget dengan pertanyaan itu, ia menatap wajah perempuan tersebut dengan sangat teliti. Ia mencoba menerka ingatan masa lalunya.
"Kamu........ Din...."
"Iya, aku Dinda. Teman sekelasmu saat SMP."
Zain tak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia kembali teringat akan masa lalu, saat di mana ia punya rasa suka ke Dinda, namun tak berani mengungkapkan. Ia merasa sangat tak pantas bila pacaran dengan Sang Idola di sekolah, sedangkan ia hanya berandal sekolah yang hobi buat onar dan selalu dapat hukuman.
Pertemuan itu ternyata berbuah manis di masa depan. Mereka kembali dekat, dengan perasaan sama yang sempat terkubur tujuh tahun lamanya. Hingga akhirnya, satu tahun kemudian mereka memutuskan untuk menikah, setelah mengutarakan perasaan masing-masing dan mendapat restu dari orang tua mereka. Sang Berandal itu bersanding dengan bidadari yang diidamkannnya, memadu asmara dalam bingkai juang dan dakwah agama sebagai Ustaz dan vokalis hadroh ternama. Zain semakin percaya, barokah itu nyata adanya, bahwa seburuk-buruk manusia selalu diberi kesempatan untuk berubah.
Posting Komentar