Kami akhirnya memesan tiket untuk dua orang, pulang-pergi. Kereta berangkat pukul 13:50 dari stasiun. Selepas sembahyang Zuhur, kami segera bergegas.
"Naik motorku apa motormu?" tanyaku pada Falih, temanku sekamar di pesantren. Dia sudah tampak gagah dan siap.
"Motorku saja," katanya sambil menunjukkan kontak motornya.
Dari pondok menuju stasiun butuh sekitar 45 menit. Kemudian kami pergi. Falih mengendara begitu cepat. Cepat sekali. Aku yang membonceng di belakang cukup merasa cemas.
"Pelan-pelan, Fal, santai saja. Tak perlu buru-buru," ucapku.
Dia cuma diam dan fokus. Kebetulan hampir seluruh lampu lalu lintas tiba-tiba berwarna hijau ketika kami lewat. Tak tahu kenapa bisa begitu. Barangkali dia sudah membaca doa tertentu, entah apa. Falih memang memiliki cukup banyak hafalan do’a yang dia minta dari Mbah Kyai.
Setelah sampai di stasiun, kami memarkirkan kendaraan lalu menuju lorong keberangkatan. Sembari berjalan, aku menyulut sebatang rokok. Ternyata saat kami tiba hanya tersisa waktu sekitar 10 menit sebelum kereta berangkat. Kebetulan ini pertama kali kami berdua naik kereta. Sesudah menunjukkan tiket, kami segera menuju gerbong.
Melewati peron satu hingga ujung, kami berjalan sembari sepintas melihat para penumpang lain yang masih duduk di ruang tunggu dekat lintasan kereta. Kebanyakan terlihat asyik bermain ponsel. Ada beberapa yang tertidur dengan wajah tertutup masker, mungkin saking letihnya entah sebab apa. Namun mataku tertuju pada satu perempuan yang cukup menarik. Dia duduk sendirian di paling ujung bangku ruang tunggu penumpang. Meski dari kejauhan, kedua alisnya terlihat tebal dan pipinya begitu merona seperti apel. Tetapi kuabaikan saja; aku harus segera masuk gerbong.
Ketika pertama memasuki ruang penumpang, suasana tiba-tiba berubah. Nuansa menjadi begitu puitis. Ingatanku tiba-tiba tertuju pada film "Arini 1989: Masih Ada Kereta Yang Akan Lewat" dan film pendek berjudul "Kisah dalam Kereta". Keduanya termasuk menjadi penyulut bagiku untuk berkeinginan naik transportasi yang berjalan di atas rel ini.
Kami lantas mencari kursi yang tertera sesuai tiket. Aku memilih tempat duduk dekat jendela untuk keberangkatan. Sesudah meletakkan tas punggung di bagasi atas, aku segera duduk dan memutar lagu menggunakan penyuara telinga.
"Aku ke toilet dulu, Zul" ucap Falih setelah melepaskan jaket yang kemudian dia taruh di kursinya.
Aku hanya mengangguk.
Belum selesai satu lagu kudengar, seorang perempuan tiba-tiba duduk di sebelahku; di kursi yang seharusnya untuk Falih. Aku menengok ke arahnya.
"Maaf, Kak, ini kursi teman saya," tegurku pelan. "Orangnya tadi sedang ke belakang," sambungku menerangkan.
"Oh, maaf, Mas. Ini cuma sebentar, kok. Saya mau ikat tali sepatu," jawabnya dengan wajah tertutup masker sembari menunduk membenahi tali sepatunya yang memang lepas.
Aku hanya diam sambil mengernyitkan dahi. Tentu ini cukup membuat kenyamananku berkurang. Apalagi dia langsung duduk begitu saja tanpa meminta izin meski kemudian dia beritahu alasannya. Sudahlah, aku biarkan saja perempuan itu. Kualihkan pandangan keluar jendela.
"Masnya dari mana?" Dia lalu bertanya masih dengan menghadap ke bawah sebelum menyelesaikan ikatan tali sepatunya.
"Dari Semarang, Kak." Tandasku singkat. Kita berada di kereta yang berangkat dari kota yang sama; buat apa dia bertanya yang sudah jelas jawabannya, Gumamku dalam hati.
"Saya Ansiya." Perempuan ini tiba-tiba memberitahukan namanya sambil mengulurkan tangan. "Salam kenal, Mas."
"Iya, salam kenal. Saya Zulfa, Kak." Ketika kusambut uluran tangannya itu, terasa kulitnya sangat halus dan lembut. Barangkali perempuan bernama Ansiya ini terbiasa melakukan perawatan.
“Panggil Ansiya saja, Mas.” Katanya dengan mata yang menyipit. Sepertinya bibirnya yang tertutup masker itu sedang tersenyum.
“Baik, Ansiya.” Kuturuti saja permintaannya itu. Ketika kupandang baik-baik wajahnya bagian atas, karena memang hanya itu yang terlihat, aku seperti merasa familier. Kedua alisnya tampak seperti perempuan yang aku lihat tadi di stasiun, tebal dan indah. Apa mungkin dia? Tetapi agaknya mustahil. Bagaimana bisa perempuan yang duduk di bangku paling pojok kemudian sempat memasuki gerbong yang berada di ujung peron lain? Apalagi kereta juga langsung berangkat setelah kami menemukan kursi jatah kami duduk. Rasanya tidak begitu masuk akal.
"Lagi dengar lagu apa, Mas?" Belum selesai aku berpikir, dia melempar pertanyaan baru.
"Nala, lagunya Tulus, Kak," ucapku singkat sambil memalingkan sorot mataku ke ponsel.
"Masnya suka Tulus juga?" Ia terlihat mulai menggebu. Kedua matanya tampak berbinar. "saya kebetulan mengikuti lagu-lagu Tulus sejak 2011, Mas."
"Oh, keren, Kak." Aku jawab seadanya. Bingung juga mau merespons bagaimana.
“Tapi saya baru nonton konsernya sekali, Mas.” Dia melanjutkan. “memang beda nuansanya kalau datang langsung. Seru sekali.”
Kami lalu saling diam sebentar. Kukira perempuan ini akan langsung pergi. Dia malah mulai mengeluarkan ponselnya. Sesekali memperbaiki jilbabnya yang sebenarnya sudah rapi itu. Aku sendiri masih kepikiran tentang siapa sebenarnya perempuan bernama Ansiya ini.
"Masnya sudah makan?" Dia menyambung obrolan lagi. "saya bawa roti. Mau? Atau minum? Ini juga ada air mineral."
"Iya, duluan saja, Kak." Aku mempersilakan, dengan keramahannya itu, aku jadi makin penasaran apakah dia benar-benar perempuan yang kulihat tadi di stasiun. Mumpung mau makan, tentu maskernya akan dibuka. Tetapi sedari tadi Falih belum kembali juga. Tumben sekali dia berlama-lama di toilet. Biasanya kalau di kamar mandi pondok tidak sampai lima menit dia sudah kelar. Sudah, biar sajalah.
Sejenak selepas membuka bungkus roti yang dibawanya, Ansiya ini kemudian benar-benar melepaskan masker yang menutupi wajahnya itu. Aku berusaha tidak melewatkan momen ini. Kupandangi benar tiap gerak kedua tangannya yang melepas kait tali perlahan-lahan dan akhirnya lepaslah masker itu dari wajahnya. Tidak salah lagi, memang benar dia orangnya. Kedua pipinya tampak merona kemerah-merahan. Beralis tebal dengan pupil mata besar dan sejuk. Cantik sekali.
"Sudah sampai, Zul." Terdengar seperti suara Falih, "kita langsung ke Kanzus," lanjutnya sambil menepuk pundakku kemudian beranjak dari bangku.
Aku masih diam.
“Zul,” ujar rekanku itu dengan sedikit menaikkan nada bicaranya, “kamu bengong, ya?”
Desember, 2023.
A. Zulfa
Muntafa lahir pada 29 April tahun 2000 di Kemadu—Sulang, Rembang, Jawa Tengah.
Penulis berstatus sebagai mahasiswa di program studi S2 Pendidikan Bahasa Arab
UIN Walisongo Semarang. Beberapa tulisannya sempat dimuat di Kompas, Tatkala,
dan media-media lainnya. Karya tulisnya antara lain buku kumpulan cerpen “Mbah
Yai” (2022).
Instagram:
@abdullah_zulfa_muntafa
No. HP/WA:
085600136794
Posting Komentar