Selamat siang menjelang sore hari
Senin. Hari yang penuh akan penghidupan. Hari yang penuh tanda tanya, ‘mau
makan apa hari ini?’ ‘ingin pulang membawa apa hari ini?’ Seperti dapat kubaca
satu per satu di dahi mereka, kerutan kening bernada kecemasan. Tiba-tiba saja,
aku melihat sosok tak asing dari angkutan umum yang macet di ibu kota.
Mataku pedih sekali melihatnya. Sosok
yang tak lagi setegar dahulu. Aku mengutuk kenapa angkutan ini macet di
pinggiran jalanan kota di depan pasar tradisional yang kumuh dan bau. Aku sudah
berusaha bersembunyi sebisaku. Apalagi angkutan umum yang sedang kunaiki ini
juga diserbu banyak anak-anak sekolahku.
"Hei, Na. Itu bapakmu,
kan?"
"Hah? Mana mana?" Aku
berusaha saja tak melihat. Mataku celingukkan ke sana kemari padahal sudah
kutangkap sosok itu dengan jelas dari beberapa detik yang lalu.
"Itu,
kan? Yang ada di foto belakang hpmu," tunjuk anak itu pada softcase
hpku yang berhias polaroid kecil foto bapak dulu.
"Oh, iya."
"Katamu, bapakmu kerja di
kantoran, Na. Kok jadi pemulung di pasar? Penampilannya juga tak sama seperti
dalam foto itu."
"Em... iya. Itu dulu."
"Kamu jadi miskin, Na?"
Semua mata tertuju padaku saat itu
juga. Mendadak pandanganku mengabur bersamaan dengan air yang menggenang dari
ujung mataku. Aku tak dapat menahannya lagi. Dia bapakku satu-satunya, harta
yang kupunya, dan bahkan aku hendak memberikan hadiah padanya nanti di rumah. Namun,
kenapa secepat itu waktu mempertemukannya dengan sosok yang lusuh berdebu itu
sekarang?
"Iya. Aku miskin, tapi aku tak
malu. Ini, Pak." Aku menyerahkan selebaran uang pada sopir angkutan umum,
lantas keluar.
Bagiku, semua tidak ada artinya tanpa
sosok berdebu yang sedang sibuk mengumpulkan sampah di balik tangga. Tidak ada
yang menggantikan sosoknya dalam hatiku, meski aku sedikit kecewa jika
mengingat kejamnya ia dulu memperlakukan ibuku.
"Selamat ulang tahun,
Bapak." Aku menangis sambil mengeluarkan sebuah bingkisan yang kuserahkan
padanya.
"Kenapa kamu di sini? Kamu ndak
malu? Itu temen-temen sekolahmu lihatin kamu, Nak. Pergi saja sesuai
kesepakatan. Kau pasti malu."
"Sekarang Nana enggak akan malu
lagi. Ini buat bapak."
"Apa ini, Nak?"
"Hadiah yang gagal ibu berikan
sewaktu hari jadi pernikahan kalian. Hari di mana ibu lebih memilih mengakhiri
hidupnya sendiri ketimbang melihat bapak sama perempuan lain. Atau hari di mana
ibu memilih buta untuk melihat kondisi bapak saat ini."
Bapakku masih terdiam. Malah merenung
ia di jalanan. Aku tidak ingin mengulang masa-masa kelam itu lagi. Bapakku
tampak kecewa, kemudian menundukkan kepala yang kutahu pasti dia sedang
memikirkan dosa apa yang dulu pernah ia perbuat selama roda kehidupan belum
menggulirkannya seperti sekarang.
"Pak. Diterima ya, dibuka di rumah
aja. Sekarang makan yuk sama Nana."
"Bapak masih kerja, Na. Nana
pulang dulu aja. Masih ada nasi goreng tadi pagi di meja. Makan ya, Na."
"Yah, padahal Nana mau traktir
bapak."
"Em... bapak setoran dulu kalau
gitu, ya?"
Aku mengangguk bersemangat. Kubantu
pria itu memasukkan sampah-sampah plastik ke dalam karung besar kumal dan bau.
Aku juga ingin memperbaiki kesalahanku, pada sosok bapak yang kembali
tergelincir panasnya matahari.
Jika kuceritakan singkat tentang
kehidupannya dulu sebelum menjadi manusia debu ibu kota seperti sekarang, aku
berani bersumpah. Segalanya bagai cerminan yang bertolak belakang hebatnya.
Golongan atas, julukan yang begitu mengental dari beliau, bapakku yang kini
tengah berjalan terseok-seok, terkadang tersandung kerikil di trotoar pula.
Aku mengusap sedikit air di ujung
mata. Iya, ini hanya tentang perputaran. Jika aku melihat mobil-mobil mewah itu
berlalu lalang di sampingku dan bapak, sama saja aku melihat pantulan diriku
sendiri di sungai yang tenang arusnya. Itu aku dulu, sebelum ketamakan bapakku
menghancurkan semuanya.
"Ini aja, Pak. Makan bakso
kesukaan bapak," tunjukku pada warung bakso yang kata orang juaranya
makanan pasar ibu kota.
"Mahal, Na. Ngawur kamu. Bapak ndak
ada uang."
"Tenang aja. Tulisan Nana baru
saja dimuat di majalah, jadi Nana ada rezeki sedikit. Ayo, Pak. Sekali-kali
Nana pengen traktir bapak. Kita ngobrol aja."
Bapak menurut. Kami kembali menghirup
aroma bakso lezat yang sudah sekitar empat tahun lamanya hilang dari hidup
kami. Suara gaduh khas warung pinggir jalan. Kepulan asap kuah bakso yang
membubung tinggi. Celotehan orang-orang rakus melahap habis bulatan bakso dalam
mangkuk.
"Bapak duduk di pojok, ya. Nana
pesankan dulu."
Bapak sekali lagi mengangguk. Aku
memesan dua bakso ber-topping ceker, kemudian dua es teh. Awalnya, mau
kupesankan kopi hitam kesukaan bapak dulu. Namun, rasanya terlalu syahdu untuk
mengulang kilas ingatan aroma kopi itu pada bapakku yang semakin tua di mataku.
"Boleh bapak buka sekarang aja,
Na?" tanya bapakku menatapku curiga.
"Kenapa buru-buru sih, Pak? Di
rumah aja. Di sini ramai, nanti ibu di surga lihat ‘kan jadinya
malu-malu," candaku.
"Kenapa ini bisa ada di
kamu?"
"Aku menyimpan itu agak lama di
almari. Kurang lebih empat tahun ‘kan dari semua peristiwa itu menampar kita
habis-habisan. Kata ibu, bapak suka banget benda itu. Ibu udah ngerencanain
dari dua bulan sebelum hari jadi pernikahan kalian. Itu bikinan ibu sendiri
tahu, Pak. Sesayang itu ibu sama bapak. Tapi..."
"Iya, bapak tahu." Bapak
menyentuh punggung tanganku di atas meja. "Maafkan bapak, Nak. Maafkan
bapak sudah mengecewakan kamu dan ibumu. Maafkan bapak, karena khilaf bapak,
ibumu memutuskan untuk pergi, dan kamu pun jadi sengsara seperti sekarang. Kamu
harus menanggung malu atas pekerjaan bapak yang tidak seperti dulu lagi."
"Kenapa bapak memilih ditipu
sama wanita itu? Pasti bapak ada alasannya, kan? Nana selalu yakin bapak punya
alasan buat selingkuh sama wanita jalang itu."
"Satu alasan yang bisa bapak
berikan buat kamu. Untuk menjawab semua itu."
"Apa?"
Bakso kami datang. Tepat ketika aku
ingin mendengar penuturan bapak. Penjelasan bapak dari semua masalah yang kini
berimbas pada kami.
"Dia orang gila yang kehilangan
suaminya ketika sedang merantau. Dia menghidupi satu anaknya, dan mau tidak mau
harus memelas pada orang-orang yang juga sedang stres memikirkan jenuhnya
berkeluarga. Dan itu bapak dulu. Maafkan."
"Bapak jenuh? Pantesan ibu
membuatkan itu untuk bapak di hari jadi. Bapak pasti seneng." Aku tertawa
sumbang yang membuat bapakku menunduk lagi.
"Pak. Maaf ya. Ayo kita pesta
bakso. Lupain deh yang lalu." Bapakku tersenyum lagi, kemudian kami
melahap bakso itu bersama. Kadang sambil tertawa atau membahas sekolahku juga.
Selesai
Posting Komentar