ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) adalah seseorang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi sebagai manusia (Undang Undang No 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa., 2014). ODGJ berat akan berdampak bukan hanya pada pasien itu sendiri, namun juga pada keluarga, masyarakat bahkan pemerintah. Dampak yang ditimbulkan bisa dampak fisik, psikis, maupun sosial. Dampak pada diri sendiri antara lain bisa membahayakan diri, misalnya perilaku amuk dan melukai diri sendiri bahkan hingga mengakibatkan kematian, Dampak pada orang lain antara lain melukai orang lain hingga menyebabkan kematian pada orang lain dan merusak lingkungan, sehingga menyebabkan ketakutan dan keresahan pada masyarakat sekitar, Dampak yang terjadi bagi pemerintah adalah adanya beban yang lebih baik dari pasien maupun keluarga (Rinawati & Setyowati, 2020). Oleh karena itu gangguan jiwa ini masih menjadi perhatian yang sangat penting dari berbagai lintas sektor baik pemerintah maupun masyarakat, hal ini dikarenakan gangguan jiwa menghabiskan biaya pelayanan kesehatan yang besar (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
Hak asasi manusia merupakan hak yang diperoleh oleh semua orang termasuk orang dengan gangguan jiwa. Salah satu bentuk dari pemenuhan hak asasi manusia adalah mendapatkan pelayanan hak kesehatan. Sedangkan untuk perawatnya sendiri merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan termasuk yang bekerja di rumah sakit jiwa sangat dituntut untuk memiliki komitmen yang tinggi sehingga dapat memberikan pelayanan yang optimal bagi pasien, mengingat kondisi pasien yang memerlukan penanganan khusus.
Tujuan tulisan ini untuk melakukan telaah literatur tentang persepsi perawat terhadap pemenuhan hak-hak orang dengan gangguan jiwa. Dalam tinjauan literature review ini menggunakan 3 data base. Hasil penelitian yang di lakukan oleh Koschorke et al pada tahun 2021 di dapatkan 4 faktor yang memenuhi yaitu Kesejahteraan dan kelelahan penyedia layanan, Faktor struktural dan praktik yang berkontribusi terhadap stigma dalam perawatan primer, Harapan untuk layanan kesehatan mental di fasilitas spesialis versus perawatan primer, Kompetensi klinis dan pengalaman serta kebutuhan pelatihan tidak mendukung. Faktor yang paling signifikan adalah kompetensi klinis dan pengalaman serta kebutuhan pelatihan yang tidak mendukung. Dari faktor ini melaporkan bahwa pelatihan terbatas, mereka menyatakan keinginan yang kuat untuk lebih banyak pelatihan, terutama pelatihan praktis, seperti tentang cara berkomunikasi dengan pengguna layanan atau tentang cara menghadapi situasi yang menantang. Mereka juga menginginkan lebih banyak pengawasan oleh layanan spesialis ketika memberikan perawatan bagi pengguna layanan. Secara keseluruhan, dari semua situs mengeluhkan kurangnya komunikasi dan kerjasama dengan layanan kesehatan mental khusus.
Berdasarkan tinjauan dari literatur review ini dapat disimpulkan bahwa masih banyak pasien yang belum mendapatkan haknya selama di rawat di rumah sakit maka dari itu perlu adanya pelatihan kepada perawat jiwa serta edukasi terkait hak-hak orang dengan gangguan jiwa.
Daftar Pustaka
Undang Undang No 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa. (2014).
Rinawati, F., & Setyowati, N. (2020). STIGMA DAN PERSEPSI TIM PELAKSANA KESEHATAN JIWA MASYARAKAT TENTANG MASALAH KESEHATAN JIWA DI MASYARAKAT. 3(4), 8.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Adityawarman. (2018). Perlindungan Hukum Terhadap Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) Dan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) Ditinjau Dari Kuhp Dan Undang-Undang No.18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa.
Posting Komentar