Oleh: M. Athok Fardi Hasan
Mendengar, melihat, dan merasakan
langsung hidup di tengah lingkungan pondok pesantren merupakan sebuah hal yang
unik sekaligus menyenangkan. Pasalnya pesantren adalah sebuah lembaga
pendidikan asli dari Indonesia yang memiliki keunikannya masing-masing dan
masih eksis sampai saat ini.
Di Indonesia sendiri terdapat
ribuan pondok pesantren, dan kita tidak dapat menyeragamkan ribuan pesantren
itu sendiri. Seperti misalnya pesantren Lirboyo Kediri dan pesantren tahfidz Al
Munawwir Krapyak Yogyakarta. Lirboyo bisa dikatakan merupakan salah satu pondok
dengan kajian kitab kuning terbaik begitu juga Al Munawwir yang dikenal dengan metode hafalan Al-Qur’annya.
Demikian juga pesantren-pesantren
lainnya yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Meski ada perbedaan dari
segi keilmuannya, tidaklah menjadi kekhawatiran bersama, selagi pesantren masih
mengajarkan kurikulum dan pendidikan yang baik untuk santri-santrinya.
Jika membahas tentang keilmuan yang
ada di pesantren, kiranya juga perlu membahas asal-usul dari pesantren. Sangat
menarik kiranya ketika kita melacak asal-usul keilmuan pesantren yang sampai
saat ini masih bisa bertahan melawan perkembangan dan bahkan makin diminati
publik. Melacak dan menilik tentang asal keilmuan pesantren susah rasanya untuk
melepaskannya dengan sejarah awal masuknya Islam di tanah Indonesia. Keduanya
adalah hal yang saling berkaitan.
Dalam hal ini, Gus Dur berpendapat
dan membaginya menjadi dua gelombang. Pertama, pengetahuan keislaman yang
berkaitan dengan waktu awal agama Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke 13.
Yang Kedua, ketika para ulama lokal
menuntut ilmu di berbagai daerah luar Indonesia lalu kembali ke tanah air, dan
setelahnya membangun pesantren di Indonesia.
Pada gelombang pertama, ajaran
Islam didominasi oleh praktik-praktik wiridan atau thariqoh atau amaliyahnya.
Gus Dur memberi dua contoh kitab yang sering dikaji pada masa ini yakni kitab
Al-Hikam karya dari imam Atoillah dan Bidayatul Hidayah karya dari Imam
Ghozali. Maka bisa dikatakan bahwa tasawuf adalah orientasi yang pertama
berkembang di pesantren pada masa awal agama Islam masuk ke Indonesia.
Gelombang kedua berada pada sekitar
abad 19, bertepatan dengan naiknya perekonomian rakyat pada masa itu. Dengan
hal itu,banyak kalangan santri lokal pergi merantau ke luar Indonesia karena
bisa dikatakan dengan adanya kenaikan perekonomian pada saat itu banyak santri
yang mampu belajar mendalami Ilmu agama Islam sampai ke jazirah Mekkah. Atau
bisa saja, sesuai dengan apa yang ditukis Nur Kholis Majid dalam buku
bilik-bilik pesantren,bahwa “mula-mula orang zaman dahulu ketika melaksanakan
ibadah haji dengan keadaan yang memaksanya untuk menetap lama di sana, akhirnya
sekaligus mendalami ilmu agama yang kelak diajarkan ketika pulang ke tanah
air”.
Dari kedua gelombang tersebut
banyak lahir ulama-ulama tangguh dalam disiplin ilmu agama, seperti Kiai Nawawi
Banten, Mbah Kholil Bangkalan, Mbah Hasyim Asy’ari, dan ulama-ulama lain yang
tidak terputus sampai hari ini. Jika di gelombang awal berorientasikan
ketasawufan dan praktik wiridan, maka gelombang kedua arah orientasi keilmuan
pesantren bergeser menjadi gerakan pendalaman beberapa bidang-bidang keilmuan
beserta alat bantunya secara tuntas. Barulah kemudian di fase ini muncul
nama-nama orang yang disebut dengan kyai yang sampai saat ini terus
mengembangkan dan mendirikan pesantren dengan latar belakang yang berbeda baik
itu pesantren salaf yang masih lekat dengan gaya tradisionalnya dan pesantren
Modern.
Kelompok tradisional atau pesantren
salaf sangat lekat dengan khazanah Islam klasik yang lazim dikenal dengan kitab
kuning. Kitab kuning ini menjadi sumber kajian utama yang dipelajari dan dikaji
di pesantren hingga saat ini. Adapun metode pembelajaran yang lazim diterapkan
di pesantren salaf pada umumnya adalah metode bandhongan dan sorogan. Dalam
sistem bandhongan, santri tidak bisa berperan aktif dan hanya mendengarkan dan
menuliskan apa yang disampaikan oleh kiai tanpa ada ruang untuk bertanya dan
berdiskusi.
Sementara dalam metode sorogan,
santri menghadap kiai satu per satu dengan membawa kitab yang dipelajari
sendiri. Dalam hal ini santri biasanya membaca sendiri sedangkan kiai
membetulkan bacaan santri dan menjelaskan lebih detail tentang isi kitab yang dibacanya.
Pembelajaran yang ada di pesantren
salaf memiliki keunikan tersendiri seperti dari segi kelulusannya. Kelulusan
santri tidak diukur dari nilai dan angka-angka, tetapi diukur dari kemampuannya
dalam menguasai kitab-kitab tertentu. Jika sudah menguasai kitab-kitab
tertentu, maka ia kemudian disilakan untuk melanjutkan ke pesantren lain untuk
mempelajari kitab dengan bidang kelilmuan yang berbeda atau malah pulang ke
masayarakat. Selain itu santri yang lulus tersebut tidak ditandai dengan
selembar kertas seperti yang terjadi dalam pesantren modern, tetapi dicukupkan
dengan “ijazah” dalam bentuk doa dan pengakuan dari kiai tersebut bahwa sang
santri telah menguasai ilmunya kiai dan berhak menyebarkannya kepada masyarakat.
Berbeda dengan pondok pesantren
salaf, dari sisi pembelajaran pesantren modern menerapkan sistem, metode, dan
kurikulum modern. Di pesantren ini, tidak lagi ditemukan kitab kuning sebagai
sumber keilmuan. Santri tidak lagi mengaji dan mengkaji kitab kuning. Santri
dididik dalam kelas-kelas khusus dengan kurikulum modern yang jelas dan lebih terukur.
Dari segi pembelajaran di pesantren
modern akan lebih efektif dan efisien. Karena santri hanya benar-benar
disibukkan dengan belajar pengetahuan, tanpa harus memasak, mencuci dan
seterusnya. Tetapi, pada saat yang sama, harus diakui santri-santri kurang
memiliki pribadi yang kuat dan tangguh.
Bagi saya sendiri yang tumbuh dan besar di lingkungan pesantren modern, tentunya merasakan perbedaan adanya bidang keilmuan yang ada di pesantren salaf dan pesantren modern. Di pesantren modern mengkaji banyak sekali bidang kelilmuan, berbeda dengan pesantren salaf yang hanya mengkaji kitab-kitab. Beberapa bidang keilmuan yang diajarkan di pesantren modern contohnya seperti pendidikan bahasa dan pendidikan umum lainnya.
Posting Komentar