Bulan
Ramadhan adalah bulan suci yang disambut suka cita oleh banyak orang karena
beragam alasan. Ada yang menyambutnya karena mengetahui akan segera membeli
baju baru “baju lebaran”, ada yang
menyambutnya karena banyaknya diskon bertajuk lebaran, dan banyak juga
yang menyambut dengan suka cita sebab banyaknya keutamaan dalam bulan ini.
Di
Ramadhan kali ini ada yang berbeda bagi saya, sebab ini merupakan kali pertama
saya berpuasa di daerah yang keberadaan muslimnya sebagai minoritas. Dari sana saya
sadar bahwa menjadi seorang muslim di Pulau Jawa sungguh menjadi privilase yang tidak terbantahkan. Pasalnya,
banyak kegiatan keagamaan (read:
agama Islam) yang difasilitasi oleh Negara dan dianggap maklum oleh sebagian
kalangan. Pendirian masjid misalnya yang bisa dilaksanakan dengan sebebas-bebasnya.
Hal ini sangat bertolak belakang dengan sulitnya pendirian rumah ibadah
lainnya.
Sulit sekali menemukan tradisi yang biasa
dilakukan masyarakat Pulau Jawa di sini. Mulai dari membangunkan sahur
keliling, perang sarung seusai tarawih, sampai perang petasan yang akan usai
ketika sudah disantronin alias dijemput oleh orang tuanya yang tak jarang harus
memakai persenjataan agar si anak pulang. Hal hal tersebut hanya dapat dijumpai
di beberapa kampung Islam sebagai basis Islam yang tersebar di berbagai tempat
di pulau ini.
Belum lagi, terkadang kita tidak dapat
mendengar suara azan yang disebabkan oleh jauhnya jarak masjid dan sedikitnya
masjid yang ada. Bukannya mendengar suara azan yang lantang seperti di Jawa,
kita justru disuguhkan dengan pembacaan Trisandya di 3 waktunya. Trisandya
merupakan Matram dalam agama Hindu yang dilaksanakan untuk persembahyangan 3
kali sehari yang biasanya dapat kita dengar di pukul 6 pagi, 12 siang, dan 6
petang. Singkatnya, Trisandya adalah sejenis azan versi Hindu.
Jangan anda bayangkan bahwa dapat menemukan
tempat solat dengan mudah di Bali. Yang biasanya ketika di Jawa kita dapat
menemukan masjid atau tempat shalat di sepanjang mata melihat. Di sini tidak
semudah itu kawan. Di pom bensin? gak ada. Di tempat wisata? Jangan harap.
Paling-paling anda bisa shalat di bale bale tempat wisata. Shalat di bale masih
amanlah. Tapi bayangkan, shalat di bale yang terbuka dengan keberadaan anjing
liar yang berlalu lalang. Cukup mengkhawatirkan memang.
Tinggal di Bali pada Ramadhan kali ini membuat
saya sadar bahwa banyak hal yang harus saya syukuri karena menjadi seorang
muslim di Jawa banyak kemudahan yang saya dapatkan. Boleh dibilang penyebaran
Islam di pulau Jawa sungguhlah massif. Namun demikian, banyak sekali yang sulit
menerapkan nilai keislaman dan senantiasa menjadikan Islam sebagai agama yang
ekslusif.
Perintah menutup warung sampai waktu yang
ditentukan ketika bulan puasa dengan dalih untuk menghargai orang yang berpuasa
bagi saya cukup ganjil, dan keganjilan tersebut makin mantap ketika saya
tinggal di Bali. Dengan suhu yang lebih panas dari Jawa, terkhusus jawa bagian
barat serta bagian yang jauh dari pesisir, masyarakat Bali bisa dengan tenang
menjalankan ibadah puasanya. Terbukanya warung makan saat siang hari tidak
sedikitpun mengusik mereka, justru saya yang sempat tergoda.
Mbok ya, itu yang senang sekali melarang
ini itu kepada selain muslim diajak studi banding kepada muslim di Bali.
Mintalah tips and trick bagaimana
mempertahankan keimanan di tengah gejolak babi guling yang sangat menggoda
serta bertubitubi godaan yang mereka anggap biasa tersebut. Bisa dilihat nantinya, selama ini alasan
mereka melarang ini itu apakah benar karena umat atau memang sekadar
kekhawatiran mereka terhadap goyahnya mereka akibat lemahnya keimanan
mereka.
Belajar dari kejadian tersebut, seharusnya kita
lebih mempertebal keimanan kita alih alih menyuruh orang untuk ikut kita
berpuasa. Ternyata kita selama ini kita terlalu terlena dan egois seakan akan
Negara kita adalah milik Islam. Apa itu moderasi beragama jika hanya teori
semata?
Mari kita acungkan jempol dan beri tepuk tangan
kepada para muslim di Bali yang tidak mengemis untuk disediakan mushola di setiap tempat umum tetapi
tetap menjalankan ibadah sebagaimana mestinya. Kita ucapkan juga selamat atas
keteguhan muslim di Bali yang tetap lancar menjalankan ibadah puasa tanpa
meminta untuk menutup warung yang ada. Selamat, kalian hebat.
Posting Komentar