Yakin Sudah Bermoral?

 


 “Halo, Dek. Sudah siap berangkat?”

“Udah siap dong, ayo keburu telat masuknya,” ucap Sophia

“Oke, aku kesana sekarang,” ucap Iwan sambil menaiki motornya.

Mentari menampakkan dirinya, menggantikan posisi bulan yang sinarnya sama-sama menerangi dunia. Burung-burung sudah memulai pekerjaan. Ayam pun sudah mengeluarkan nyanyian merdunya. Hari ini, Sophia berangkat ke kampus ditemani pacarnya.

Seperti biasa, ketika pembelajaran sudah dimulai 30 menit, semua mahasiswa merasa bosan karena penjelasan dosen yang sangat garing. Penggunaan metode ceramah yang sangat tidak menarik cukup sukses menghipnotis mahasiswa agar mudah tidur nyenyak di kelas. Demi menghindari kontra dengan dosen, Sophia hanya diam karena takut nilai yang diberikan dosen menjadi jelek.

“Baik saya rasa cukup penjelasan pada kali ini, silakan kalian membuat kelompok dan buatlah suatu proker yang menurut anda bermoral bagi orang sekitar,” ucap dosen tua dengan rasa jengkelnya.

“Baik pak,” ucap mahasiswa serentak.

Begitu dosennya keluar dari ruangan, hipnotis yang ada di dalam kelas langsung hilang. Semua mahasiswa seketika kehilangan rasa mengantuknya. Tanpa basa-basi komting pun membagi kelompok untuk pembuatan proker. Namun, Iwan, salah satu mahasiswa yang menolak mentah-mentah pembagian kelompok yang dibagikan oleh komting.

“Loh kok gini pembagiannya, pokoknya aku nggak mau kalo tidak sekelompok sama Sophia,” ucap Iwan dengan nada marah.

Haduhhh bucin akut, nggak mau dipisahin sama pacarnya tuh. Udahlah, tuker aja, Ab, biar urusannya tidak panjang,” ucap Sarah dengan tatapan sinisnya.

Abni pun mengubah tatanan kelompok, dimana Iwan dan Sophia menjadi sekelompok. Setelah pemilihan kelompok, Iwan mengajak Zaka, Lia, Sophia ke taman supra untuk mendiskusikan proker yang akan dijalaninya. Keempat mahasiswa tersebut dapat dikatakan pintar di dalam kelasnya. Hanya menghabiskan waktu 30 menit, Iwan dan temannya sudah memiliki ide untuk prokernya.

“Yaudah, fix ya kita buat program ini?” ucap Sophia dengan senyum manis di wajahnya.

“Kalo aku setuju sih, soalnya di daerah kampus kita belum ada program seperti ini,” ucap Zaka sambil asyik bermesraan dengan Lia.

“Oke lah berarti besok kita kumpul jam 8 pagi di pombensin dekat kampus ya,” kata Iwan sambil tergesa-gesa memakai jaket meninggalkan Zaka dan Lia berdua di taman Supra.

Keesokan harinya, awan hitam menyelimuti langit. Matahari tidak diperkenankan tampil untuk mengunjukkan diri. Seketika awan mengisyaratkan peperangan dengan bumi melalui petir dan air yang dijatuhkan dari atas langit. Proker pun masih tetap berjalan di tengah hujan yang lebat. Mereka rela menutupi kardus yang bertuliskan “Galang Dana untuk Korban Gempa Bumi di X” dengan payung yang kecil.

Namun tidak disangka bahwa ada seorang anak kecil berdiri di sudut jalan sambil melihat aksi galang dana yang dilakukan oleh Iwan dan temannya. Hanya Iwan dan Sophia yang menyadari hal tersebut. Dia berlari meninggalkan tempatnya setelah melakukan kontak mata dengan Iwan dan Sophia.

Jam sudah menunjukkan pukul 12 siang, Iwan dan Sophia meneduh duluan dan meninggalkan Zaka dan Lia. Iwan kemudian melepaskan jaketnya dan memasukkannya ke dalam jok motor.

“Kenapa tidak dipakai jaketnya? Padahal kamu kan lagi sakit,” ucap Sophia dengan perhatiannya.

Seketika Iwan diam dan menatap mata Sophia dengan dalam-dalam.

“Heh malah ngelamun!!” sontak Sophia dengan menepuk pundak Iwan.

“Tahu gak, padahal aku jago renang, tapi saat melihat kedua matamu aku terasa tenggelam,” ucap Iwan dengan seyum yang lebar.

“Gombal terussss, eh tapi kamu tahu gak Wan, tadi malam aku tiba-tiba memikirkan arti moralitas tentang tugas dosen yang diberikan ke kita,” ucap Sophia.

“Cakep... kita sepemikiran. Aku punya opini yang mungkin masih relatif tidak difikirkan oleh banyak orang tentang arti memaknai kata moralitas,” ucap Iwan dengan serius.

“Apa tuh apa?” Sophia tertarik dan menghadapkan badannya ke Iwan.

“Ternyata moralitas itu hanya soal egoisme manusia demi kepentingan atau kelompoknya sendiri. tapi yasudahlah nanti kamu bakal paham sendiri apa maksudku,” kata Iwan dengan sedikit gugup ketika Sophia, orang yang dicintainya menghadap ke dirinya.

Iwan pun meninggalkan Sophia untuk melakukan shalat di masjid yang berada di seberang jalan. Sophia terlihat masih berfikir keras dan ingin memahami arti kata yang dilontarkan Iwan.

Hingga malam tiba, Sophia mandi dan masih memikirkan arti kata yang dilontarkan Iwan siang tadi. Tiba-tiba Sophia teringat satu kejadian saat aksi galang dana siang tadi.

“Mungkin apa ada hubungannya dengan anak kecil yang menatap kita saat galang dana ya. Anak kecil tersebut sepertinya seorang anak yatim piatu yang ditinggalkan saudaranya. Kita mungkin merasa salah tempat karena telah merebut rezeki orang lain. Ah tapi kan ini juga buat kepentingan masyarakat yang terkena bencana,” gumam Sophia sambil mengeramasi rambut hitam panjangnya dan mengakhiri mandinya.

Sebelum tidur, Shopia terlelap dalam pikirannya sendiri dan berfikir bahwa dengan mengambil sumber penghasilan pengamen anak tadi, dia merasa bahwa kelompok dia tidak mencerminkan sikap moral yang baik. Namun hal ini tidak terfikirkan ketika sedang melakukan galang dana. Mereka hanya berfikir bahwa menolong orang dengan kuantitas yang banyak menjadikan orang lain berfikir bahwa itu adalah kegiatan yang bermoral. Di sisi lain, mereka tidak sadar bahwa mereka telah mencuri penghasilan pengamen kecil yang menggantungkan hidupnya di jalanan.

 

 

Posting Komentar