Kehilangan

 


“Aku pulang, Kang. Lihatlah adikmu ini. Aku pulang, tapi sayangnya kau tak di depan pintu seperti biasa. Tak menyapa kepulanganku seperti dulu.Kau terbaring kaku di atas dipan, berselimutkan jarik batik, di kerumuni banyak orang yang sedang berkomat-kamit membaca doa, dzikir dan ayat Al-Qur’an.

 

Pagi ini aku pergi ke taman kota, bukan untuk menikmati pagi yang cerah di taman ini, tapi aku sedang menunggu seseorang, yaitu sahabat kecilku dari Jakarta yang ingin berlibur ke Semarang. Ia datang bukan tanpa alasan, katanya ia ingin mendengar 1.000 kalimat keluar dari mulutku tentang sebuah cerita 1 bulan yang lalu.

“Riry... Lama nggak ketemu.. Huaaa. Kangennnn.Kamu apa kabar..?”

Sebuah teriakan yang mengagetkanku di tengah lamunanku.

“Hai... Tia… Akhirnya sampai juga. Kabarku baik. Gimana perjalanan mu? jawabku sambil mempersilahkannya untuk duduk di sampingku.

Suasana di stasiun terlihat sangat ramai karena banyak penumpang turun dari kereta.

Perjalananku menyenangkan. Jakarta-Semarang, lumayan lah...” Tia menjawab sembari mengikuti instruksiku untuk duduk. “Gimana? Aku pengen denger ceritamu kenapa akhir-akhir ini kamu tak terlihat semangat dulu seperti dulu,” imbuhnya.

“Sekarang? Nggak nanti pas di kos aja ?” Kagetku

“Sekarang aja, Ry, dari tadi di kereta aku dah pengen denger ocehanmu...” ocehnya,

“Oke… Aku akan mulai cerita. Dengarkan aku dan jangan potong ceritaku, karena aku juga tau kamu sudah se-kepo itu dengan cerita ku yang 1 ini “

“Oke-oke… Siap Boss, Riry. Tia terlihat sangat antusias.

☆☆☆

Kau pasti sudah tau, aku anak perempuan satu-satunya di keluargaku. Anak perempuan terakhir dengan 5 saudara laki-laki. Kau juga sudah tau bahwa aku hanya dekat dengan 1 kakak laki-lakiku, Kang Udin yang sudah biasa kusebut Kang Din. Dia adalah laki- laki terkuat yang pernah aku kenal di bumi ini. Dia tidak sempurna fisiknya. Dia lumpuh dengan tangan dan kakinya kaku tak bisa di gerakkan saat umurnya menginjak 16 tahun, saat ia kelas 1 SMA.

Bisa kau bayangkan sendiri bagaimana mentalnya terpuruk waktu itu. Laki,-laki cerdas yang begitu semangat menggapai mimpi menjadi pemain sepak bola, tiba-tiba harus selalu terbaring kaku di atas kasur. Tapi dia tidak lemah atau cengeng dengan hidup. Dia menyembunyikan kesedihannya, dan terus berusaha memberi manfaat pada orang-orang di sekitarnya. Dia dengan sangat sadar tau bahwa manusia terbaik adalah yang bermanfaat untuk sekitarnya. Bahkan sampai sekarang aku masih tidak menyangka, bagaimana bisa dia sekuat itu dalam menjalani hidup? Hidup di tengah keterbatasan, tapi selalu semangat menatap kehidupan. Bahkan aku yang diberi fisik sempurna pun masih sering mengeluh pada Tuhan tentang kehidupan.

Dia adalah icon kekuatan dalam keluargaku, tapi sayang, aku baru menyadarinya setelah ia tiada. Tak pernah kusangka dia akan pergi secepat ini. Laki-laki yang sejak aku bayi selalu serumah denganku, selalu membantuku belajar, bahkan tanpanya aku tak akan pernah bisa kuliah seperti sekarang ini, dan yang paling aku sesalkan dalam hidup, adalah aku tak pernah mensyukuri keberadaannya semasa dia masih ada. Aku manusia bodoh yang hanya fokus pada kekurangan dan keterbatasannya. Hingga tak pernah sadar bahwa dia lah support sistem terbaik yang selalu ada di setiap langkahku. Selalu tau hal sekecil apapun tentang diriku, yang memikirkan masa depanku melebihi bapak dan ibuku sendiri. Dia laki-laki misterius, yang aku sendiri sulit menebak isi kepalanya. Dia sudah pergi Ti.. Dia telah bersama Tuhan. Dia meninggalkanku sendirian meniti kehidupan yang ternyata tak pernah bersahabat ini. Dia… Sosok guru, sahabat, dan partner terbaik dalam hidupku.

Kau tau Ti sejauh apa aku dulu menyepelekannya.Aku menyayanginya, Karena aku dengan sadar tau bahwa dialah satu-satunya kakak terbaik yang pernah kumiliki. Tapi semenjak aku merantau di Semarang untuk kuliah, aku jarang membalas pesannya, menyepelekan pesan-pesan yang dia kirimkan untukku. Bukan kah aku jahat, Ti ?

Dia setulus itu padaku, tapi aku sejahat ini padanya...

Oke... Kau pasti bertanya,-tanya kenapa dia tiba-tiba pergi?

Dia di ambil Tuhannya. Bahkan Tuhan lebih menyayanginya.Tapi itu mendadak sekali.Ketika terakhir kali aku pulang, dia sehat. Tak pernah terbayangkan dalam benakku dia memiliki penyakit ginjal stadium 3. Ketika dia sakit, kukira dia hanya sakit biasa. Tak ada yang mengabariku bahwa penyakitnya seserius itu. Hingga ketika aku pulang kembali, dia sudah terbaring kaku tak bernyawa di atas dipan dikelilingi orang-orang yang mendoakannya. Bagaimana aku bisa menerima itu? Ketika pertama kali aku masuk rumah, disambut bapak yang memelukku sambil berkata “Sing sabar ya nduk. Ikhlaske kang”. Bahkan di titik itu aku masih berusaha tegar. Hingga aku duduk di hadapannya, membaca doa untuk kelancaran arwahnya, air mata itu menetes. Aku gagal untuk pura-pura baik-baik saja atas kepergiannya. Tak sanggup menerima bahwa yang selalu memberikan hal terbaik dalam hidupku akan secepat itu pergi, sebelum aku sendiri sempat mengucapkan maaf dan terima kasih untuk semuanya. Bahkan sampai sekarang pun, aku masih memiliki impian itu. Impian yang aku sendiri tau bahwa itu mustahil untuk terwujud.

Kau tau apa impian itu,Ti? Aku ingin kembali bertemu kang Din dalam keadaan dia masih bernafas dan bernyawa. Aku ingin memeluknya, mengucap ribuan kata terima kasih dan jutaan kata maaf padanya. Aku ingin bercerita banyak hal padanya. Cerita yang sejak kuliah aku tak punya waktu untuk menceritakan nya. Aku ingin menceritakan padanya tentang bagaimana aku kuliah, ada apa saja di kuliah, dan apapun itu. Aku ingin ada sosoknya kembali di hidup ku, tapi dia mungkin lebih tenang di alamnya.

“Sudah Ry… Biarkan kang Din tenang di sana... Doakan saja untuk segala kebaikan nya,” Tegas Tia seraya memelukku.

“Dan yang membuat semua terasa lebih menyakitkan adalah ketika kehilangannya adalah kehilangan orang terdekat pertama yang kualami. Dia cahaya untukku. Seberapa pun aku berusaha tegar, air mata ini tak pernah henti menetes untuk segala kebaikan akan sosok nya, lanjutku.

Oke-oke… Kita lanjut di kos mu ya… Tempat ini rame, malu dilihat banyak orang, yuk, ajaknya

“Kan udah ku bilang seharusnya ceritanya nanti aja di kos,” sungutku

Akhirnya kami pergi dari stasiun menuju tempat di mana aku tinggal di perantauan sembari terus menyesali kenyataan yang ternyata tak seindah yang kubayangkan.

Posting Komentar