Sebelum Terbenam
Petang nanti,
ketika kecemasan – kecemasan berbaik hati menurunkan egonya
Aku hendak menjajakan kakiku ke arahmu
Menatap ke arah ufuk barat
Menemui ranum senja yang elok sebelum ia dilahap gulita
Ditengarai surya yang hendak berpulang ke balik gunung
Duduk di balkon lantai dua
Menikmati secangkir kopi bersama
Menerbitkan gelak tawa tanpa isyarat yang tersirat
Menggenggam kembali tanpa keraguan
Menepis ketakutan akan patah hati yang beriak
Ini perihal ketabahan, kasih
Kau tak bisa mengutuk jarak
Ia tak bersalah
Jarak bukanlah sekat untuk kita menjadi rekat
Tengah Malam
Seperti laut
Semakin larut, kegelisahan - kegelisahan pun semakin enggan surut
Beberapa pasang luka kembali kalut
Tak relakah kau semesta?
Jikalau dendam – dendam padamkan rasa
Tak relakah kau?
Jikalau yang pergi, kembali pulang tanpa memar asa
Malam memang enggan mengizinkan awak beristirahat
Bahkan meskipun memejam
Ia menggamit mimpi
Diajaknya melanglang liar
Tanpa Ramu
Pasal rinduku kemarin, ia telah menjelma iba rupanya
Terisak menunggu ramah
Meratap menunggu sempat
Hening jagat membuat rintihannya semakin nyaring
Diksiku kehilangan gairahnya
“aku lelah, terus terusan merindu tanpa ramu” katanya
Tak lama kemudian, sepasang mata sayu ini terpejam
Dan bersama rapuh, ia menjemput fajar
Puisi Terakhir di Bulan Juni
Kecewaku merangkai beberapa lembar lara
Dibukukan oleh sejarah alam semesta
Waktu telah mengembalikan kita
Pada keterasingan yang disengaja
Kau dan aku ada pada titik paling redup dari sebuah kisah, Kasih
Tak perlu payah menanti lagi
Tak perlu payah menawar lagi
Semesta tak mengamini doa kita di malam – malam kemarin
Kau dan aku bersua tanpa peluh
Dan berakhir menjelma keping - keping yang gontai
Ditemani lentera yang sedari dulu menemaniku berpuisi tentangmu
Aku hendak menyampaikan sebait kata
“terima kasih sudah menjadi bagian dari ceritaku”
Posting Komentar