“Semua cewek itu cantik, kok” ujar salah satu selebgram kenalanku
yang cantik sesuai dengan standar masyarakat –putih, tinggi, berlesung pipit,
glowing, dan rupanya semua yang jadi standar kecantikan diborong olehnya-.
Mungkin dia tidak tahu bagaimana rasanya tidak dianggap dalam sebuah forum
hanya karena kita “kurang cantik”. Aku cukup sebal dengan kenyataan tersebut.
Kalau memang cantik memilki standar, mengapa Tuhan menciptakan kita beragam?
Aku Yayan, mahasiswi perantauan yang sedang mencoba menjalankan
kehidupan sebagaimana mestinya. Tapi sebagaimana mestinya tiap orang itu
berbeda. Ada yang menganggap mestinya itu cukup bisa memakan es krim setiap
hari, ada yang cukup bisa bernafas dan menjalankan harinya seperti biasa adalah
mestinya, atau bahkan ada yang mengklaim mestinya dengan selalu mengendarai
Xenia biru kesayangannya, beragam kan? Lalu mengapa standar cantik harus sama?
Awalnya, aku merupakan perempuan yang tak acuh terhadap sekitar.
Bodoamatan. Tapi ternyata, seiring bertambahnya usia, sikap tersebut luntur
begitu saja. Yang awalnya aku bangga berteman dengan teman yang “cantik” karena
aku memiliki kesenangan sendiri berteman dengan mereka hingga kini aku justru
memiliki rasa minder ketika bersama mereka. Insecure. Rasa insecure-ku pun bukan hanya saat bersama teman, bahkan
ketika bersama ibuku. Ibuku, aduhaii cantik nian.
Sebelumnya, ketika SMA aku selalu menaggapi celotehan jail teman
tentangku dengan bercanda. Biasanya, aku akan menjawab “Awas aja lu, kalo gue
putih juga ntar naksir” atau dengan “Yailah, bule tu nyarinya yang kaya gini.
Eksotis. Nanti kalo gandengan gue bule, diem lu bakalan.” Atau dengan celetukan
lainnya yang membuat lawanku justru tertawa.
Aku yang jauh dari standar cantik masyarakat mendapat nilai yang
makin minus karena sikapku yang petakilan. Niatku untuk berusaha easy going,
ternyata justru menjadi boomerang bagiku. Perempuan itu harus ayu, anggun,
kalem. Persetan dengan semua itu, aku jelas sudah tereliminasi sejak awal.
Namun, dibalik itu semua tiba-tiba saja ada seseorang yang berani
menjadikanku kekasihnya, entah atas dasar apa. Setelah melalui berbagai dilema,
kami pun resmi berpacaran. Seorang Yayan berpacaran? Hal tersebut terdengar
aneh di telinga teman-temanku.
Singkatnya, setelah melewati masa-masa pacaran tersebut, akhirnya
aku putus. Mungkin memang mantra cupid tidak bertahan lama pada kami. Kegalauan
dan hantaman untuk mempertahankan percaya diriku perlahan mulai muncul.
Pasalnya dengan penampilan yang pas-pasan, aku cukup sulit mencari pengganti.
Ku akui, aku memang dekat dengan beberapa lelaki, namun hanya
sebatas teman. Mereka yang sempat hadir perlahan mundur setelah bertemu
denganku atau bahkan hanya sekedar lewat video call. Lagi-lagi, aku
terpental karena tak punya privilege.
“Jangankan suka ama lu, nafsu aja nggak, Yan. Liat aja, Cantik?
Kaga. Pinter? Biasa aja. Body, lu? Duuh, nggak deh. Yang mending ama lu, karena
lu asik aja. Selebihnya?” Plak… Ucapannya sukses menamparku. Aku sudah sadar
sebenarnya akan kondisi fisikku. Rasanya pun tak perlu diperjelas seperti itu.
Aku sering sekali merutuki nasib, mengeluh pada Tuhan perihal
fisikku. Tapi ketika aku sadar, aku malu. Aku malu pada Tuhan karena terlalu
sering mengeluh. Namun kesadaranku tak bertahan lama, karena aku dengan cepat
dapat dikuasai oleh insecure-ku.
“Apa aku terlampau jelek, sampai tidak ada yang mau denganku?” Pikiran
tersebut selalu berkecamuk di otakku. Lalu bagaimana jika nanti benar-benar
tidak ada yang mau dengan-ku? Apa aku harus menjadi jalang, untuk membuktikan
bahwa masih ada yang bernafsu denganku. Serius, pikiran itu memang sempat
bergejolak dalam pikiranku.
“Nggak kok, semua cewe cantik. Percaya diri aja, pasti lu bakal
kebawa sama energI positifnya” ujar salah satu artis yang memiliki kulit yang tidak
putih. Wahai, nona, lihatlah kulit mulus dan terawatmu. Berapa jumlah uang yang
kau keluarkan untuk mencapai kulit seperti itu? Tidak sedikit, kan? Pantas
saja. Wahai kau, ketahuilah, bahwa aku dan teman-temanku yang lain tidak punya
uang sebanyak uangmu. Privilage lagi. Tolonglah, aku ini, sudah jelek, tidak
anggun, bodoh, miskin pula. Makin jadilah aku.
Aneh memang, banyak orang berkampanye bahwa semua perempuan itu
cantik. Tapi hal tersebut terlontar
dari mereka yang memiliki previlage.
Lagipula, coba kau tengok tayangan komersil di semua platform. Siapa yang
mendominasi? Ya, wanita good looking.
Ada yang berkata, buat apa wajah rupawan tapi akhlaknya tak karuan.
Padahal pada realitanya, seringkali mereka yang berhati mulia kalah dengan yang
memiliki wajah rupawan. Rupanya istilah “Lo cantik, lo aman.” yang marak
belakangan ini.
Gempuran tersebut terasa makin menjadi jadi sampai aku tersadar
bahwa dengan keadaan seperti inipun aku tetap berharga. Priceless. Kalau aku dipaksa untuk terus mengikuti standar
kecantikan yang dibuat masyarakat maka tak akan pernah aku bertemu dengan kata
“bersyukur”. Misal saja, aku sudah putih tetapi masih saja mengeluh perihal
gigiku. Lalu saat gigiku sudah rapi, aku merasa hidungku kurang mancung. Merasa
kurang saja terus, tanpa ingat untuk bersyukur.
Maka aku proklamirkan dan kubuat cantik versiku sendiri. Cantik itu
relatif, Sayang. Tolong jangan pukul rata semuanya, karena semua hal itu
memiliki keistimewaannya. Hidup kita lebih berharga dari sekadar mendengarkan komentar
orang lain. Ketika kita senantiasa memperbaiki kualitas diri maka aura cantik
kita akan semakin terpancar.
Kemudian ku tananamkan bahwa aku itu merdeka, bebas, dan berhak
bahagia. Ya, aku Yayan Anggia Sari akan memulai kembali meraih butir butir
kebahagiaan yang memang sengaja dipersiapkan tuhan untuk kita.
Cause you are strong, you are wise
You are worth beyond a thousand reasons why
And you can’t be perfect
baby, cause nobody’s perfect darling
But, no,no,no
There’s nobody in the world, like you
Like you- Tatiana Manois
Aku selalu terngiang terhadap setiap bait dalam lagu tersebut. Ya,
tak adalagi alasan untuk menjelek-jelekan ciptaan Tuhan yang Maha Indah itu.
Karena aku, kamu, kita, kalian, mereka, dan semua orang di dunia ini memilki keunikan
sebagai ciri khas masing-masing. Autentik. There’s nobody in the world like
you.
Posting Komentar