“Kau gila ya? Cari mati? Bukankah sudah kubilang
untuk pulang saja tadi, kenapa tak mau mendengarkank, Ra, keras kepala sekali kamu ini. Bagaimana kalau terjadi apa-apa denganmu tadi. Apa kau tidak memikirkan kekhawatiranku,” bentak Reza pada Dhira. Yang diikuti dengan setitik air mata yang
mengalir di pipi Dhira. Spontan Reza langsung memeluknya.
“Maaf, Ra. Maaf sudah membentakmu. Aku tak mau
kau kenapa-kenapa. Aku tak mau kehilangan kamu, Ra..... kumohon
mengertilah. Kau tak perlu risaukan aku, ini sudah tugasku. Aku bisa jaga diri. Jangan sampai hal
bodoh seperti tadi itu terulang lagi ya,” ucap Reza yang berubah 360 derajat menjadi
sangat lembut.
~~~~~~~~
“Halo, Reza tulisan-tulisanmu yang menkritisi mengenai pembangunan di daerah X itu bagus
sekali. Banyak yang membaca, lanjutkan ya...” suara redaktur tempat Reza
bekerja dari telepon.
“Tentu saja, Pak.”jawab Reza singkat.
“Keren Za. Kau tahu, tulisanmu ini memicu
munculnya desakan untuk memecat Kepala Daerah X loh. Apa kau tak takut terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan,” ucap Kenan, salah satu temannya yang menjadi fotografer di
kantor redaksi yang sama dengan Reza.
“Enggak, aku akan menerima konsekuensi apapun
mengenai tulisan-tulisanku itu, Ken”
“Tetap hati-hati, Za. Tak sedikit jurnalis kena
intimidasi. Mereka para ber-uang itu bisa melakukan apapun,” jelas Kenan dengan nada serius, tapi Reza diam tak menanggapi.
“Oh iya besok kan minggu, aku lupa mau
ngajakin Dhira malmingan hehe,” celetuk Reza mengalihkan pembicaraan Kenan,
yang sebenarnya Reza sudah merasakan ada yang mencurigakan akhir-akhir ini.
“Kamu ngeledekin aku, Za? Tega kamu ngomongin
malmingan depan aku hiks,” keluh Kenan.
“Makannya bro cari pacar dong wkwkwk”
“Tak semudah itu ferguso, tipe aku tuh langka,
makanya masih jomblo sampe sekarang”
“Tipe kamu apa emang? badak bercula satu, atau
harimau sumatra,” sahut Reza sambil berlari keluar rumah hendak
menjemput Dhira.
“Awas kamu, Za” ancam Kenan.
Selepas menjemput Dhira, Reza memacu motornya
menuju sebuah cafe outdoor romantis
di Kota X. sesampainya di cafe mereka
mencari tempat dengan view lampu-lampu perkotaan yang cantik di waktu
malam. Setelah membincangkan banyak hal
tiba-tiba Dhira teringat dengan berita di
koran lama yang tak sengaja ia baca mengenai “Kasus teror terhadap seorang
Jurnalis”.
“Za, aku mau ngomong serius sama kamu,” ucap Dhira
“Iya, Ra ngomong aja”
“Aku mau kamu berhenti bekerja sebagai
jurnalis.” Terang Dhira to the point.
Reza kaget bukan main, Dhira yang sedari dulu
mendukungnya untuk menulis dan mencari pekerjaan sesuai hobbynya itu sekarang
malah menyuruhnya berhenti bekerja menjadi jurnalis.
“Kenapa, Ra? ” tanya Reza, berusaha untuk tetap tenang.
“Aku sayang kamu Za, aku gamau kamu kenapa-kenapa karena tulisan-tulisanmu. Apalagi Mengenai pembangunan Kota yang banyak menimbulkan
kontradiksi terhadap pemerintah.”
Reza mengerti apa yang di maksud Dhira.
“Maaf, Ra. Untuk permintaanmu kali ini aku ga
bisa menurutinya. Ini jalan yang sudah aku pilih dan aku ga mungkin berhenti di
tengah-tengah.”
Dhira terdiam cukup lama, sepertinya akan
sangat sia-sia jika ia memohon pada Reza.
“Za, kau harus memilih. Berhenti jadi Jurnalis
atau .....”
“Atau apa, Ra”
“Atau kita putus”
“Nggak, Ra, aku ga mau milih antara dua hal konyol itu.
Nggak akan”
“Kamu harus milih, Za” tegas Dhira sambil
menahan air matanya yang sudah mendesak untuk keluar. Sembari berdoa dalam hati
semoga Reza mau berhenti dari pekerjaannya ini.
Reza benar-benar bingung ia tak mau kehilangan Dhira tapi
juga tak mau kehilangan profesinya. Setelah melalui perdebatan yang cukup seru
dengan Dhira yang sangat keras kepala. Akhirnya Reza memilih untuk berhenti menjadi
jurnalis. Entah mengapa Dhira selalu bisa menyihirnya untuk terus mengikuti
inginnya. Ia tak mau kehilangan Dhira.
“Oke Ra. Aku akan berhenti dari pekerjaanku, aku
akan tetap bersamamu dan nggak akan ninggalin kamu”.
“Janji?”
“Iya,
janji”
“Makasih, Za”
Malam semakin larut. Keduannya memutuskan
untuk pulang. Setelah mengantar Dhira kekontrakan. Reza pulang menyusuri
jalanan seorang diri. Waktu itu pukul 24.00 WIB. Ketika melewati jalan yang
sepi, tiba-tiba dari arah depan ada seorang pria bertubuh
besar menghadangnya.
~~~
Keesokan harinya seperti biasa Dhira berselancar
di media sosial miliknya. Mencari-cari banyak hal baru dan menarik. Tak sengaja
ia membaca sebuah berita “Pembunuhan terhadap seorang Jurnalis.” Deg.... Dhira langsung menelfon Reza.
Berkali-kali ia mencoba menghubungi Reza tapi Nihil.
Kemudian ia menghubungi Kenan sahabat Reza.
“Halo Kenan, Reza dimana?”
Diujung telfon, Kenan sangat takut, ia bingung
bagaimana cara ia menyampaikan kabar duka ini pada Dhira.
“Halo Kenan, kau mendengarku kan? Reza dimana?”
“Re....Reza.... Reza dibunuh, Ra.”
Tolong lahh,bener" ya 🥺
BalasHapusLANJUTKEN!