"Semua yang berebut itu, Non, hanya sebagai amanat titipan golongannya. Sangat ironi, dari dulu kampungku tidak asri dan berseri lagi. Pantas saja, setelah kutelusuri stigma yang dibuat bahwa memang kampung adalah miniatur negara."
Non, di kampungku orang-orang sedang ribut
berebut kekuasaan dengan saling meniadakan satu sama lain, hanya untuk duduk
dalam singgasana eksistensi pada jabatan. Menghamba pada penghargaan. Semua
berkompetisi dengan dalih bahwa Tuhan bersama penegak demokrasi, aku mengamini
bila memang benar begitu, karena negara kita pun sama. Mengutip perkatan Nicolo
Machiavelli bahwa; Membunuh sahabat perjuangan mengkhianati teman-teman
sendiri, tidak memiliki iman, tidak memiliki rasa kasihan dan tidak memiliki
agama, kesemua hal ini tidak dapat digolongkan tindakan yang bermoral, memang metode-metode ini dapat
memberikan kekuatan, tapi
bukan kemuliaan.
Asal kau tahu,
Non. Selamatnya di kampungku masih
ada beberapa orang yang masih memegang teguh keyakinannya menjadi seorang
intelektual yang merdeka. Mereka berjuang atas dasar panggilan nurani hatinya,
atas cinta. Aku bersama orang-orang itu bersepakat bahwa; kekuatan cinta akan
menang dalam segala medan laga.
Gie pernah berkata mengenai seorang yang berintelektual dan merdeka seperti ini; bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan sebagai seorang intelektual yang merdeka; sendirian, kesepian dan penderitaan. Perkataan Gie mungkin benar jika aku tidak dibersamai dengan orang-orang yang sepemikiran denganku. Pikiran dan nafsu selalu menggebu untuk ikut andil mencicipi tahta, sebab jabatan yang sangat mudah didapatkan selalu memberi aroma kembang gula pada seseorang yang hanya melihat jabatan sebagai singgasana.
Tetapi kata hati selalu berbicara murni. Bahwa, perjuangan tidak
akan suci lagi bila atas dasar kepentingan golongan serta hanya memikirkan diri
sendiri. Biar aku tempuh semua itu dengan pengembaraanku bersama orang-orang
yang hingga sekarang masih membersamai, pada jalan sunyi. Kau tahu sendiri, Non, bahwa menolak itu mudah
yang sulit adalah untuk menerima. Menerima atas kesepian, menerima atas
ketidak-dianggapan, menerima atas ketidakberdayaan, menerima atas kesendirian.
Tapi ingat satu hal, Non, semua itu akan bermuara pada pembelajaran yang ikhlas
dan berkesadaran. Membentuk pola pikir yang mengharuskan diri untuk mempunyai
daya, minimal satu tingkat di atas dengan apa yang menjadi lawan.
Semua yang berebut itu, Non, hanya sebagai amanat
titipan golongannya. Sangat ironi, dari dulu kampungku tidak asri dan berseri
lagi. Pantas saja, setelah kutelusuri stigma yang dibuat bahwa memang kampung
adalah miniatur negara. Suatu proses bersalin untuk menciptakan seorang yang
mendewakan tahta dan mengkebiri kesadaran diri. Sila saja menjadi pemangku
kuasa jika kau sadar mempunyai kualitas dalam memimpin, karena orang yang tidak
memanfaatkan kemampuannya adalah orang yang menyia-nyiakan anugerah sang
Pencipta.
Aku di sini, masih dengan Tuhanku, masih dengan buku-bukuku, masih dengan pemikiranku, masih dengan petualanganku. Kalau mereka hanya butuh eksistensi, sensasi dan penghargaan dan aku mempunyai itu, akan aku berikan semua ke mereka dengan cuma-cuma. Biar aku tetap pada perjuangan dan pengemberaanku sendiri, dengan semerdeka-merdekanya. Merdeka adalah mengenal akan batas-batas. Kau tahu itu, dan aku sendiri sering berkata kepadamu. Dengan merdeka aku berdaulat atas diriku sendiri, atas pikiran dan tindakanku. Menjadi manusia yang memanusiakan manusia adalah jabatan yang paling megah yang Tuhan berikan.
Posting Komentar