Oleh: Nuril Hakim
Juang, anak muda berkulit gelap, rambut keriting dan mata menyala. Mengais aksara di tanah yang tertinggal oleh peradaban. Kata masih dieja dengan rapih, huruf demi huruf., dan Juang mendobrak dengan keberanian, melawan keadaan yang selalu diselimuti dengan ketertinggalan, dari mulai pangan, pendidikan dan dari segala bentuk ketidakadilan.
Setiap hari Juang berkeliling menjajakan koran di pelabuhan tempat turis-turis bersandar untuk menghabiskan waktu di tanah kelahirannya. Tanah kelahirannya begitu indah, terkenal dan diakui di negeri orang, tapi tidak pernah diakui di negeri sendiri. Berawal dari aksara, ia mengeja bait demi bait seluk beluk dunia. Semakin banyak tahu semakin teriris pula hatinya. Membaca dan menulis adalah hal tabu yang hampir tidak pernah orang lakukan di desanya. Anak kecil tumbuh beriringan dengan jala dan cangkul, tanpa huruf tanpa kata-kata, orang tua buta melihat angka.
Kejumudan berpikir memaksa Juang untuk berlari memutar waktu. Mendorong anak-anak untuk mulai mengeja. Karena jarak desa dan pengetahuan begitu jauh, Juang dengan tekadnya sendiri mendirikan sekolah baca yang ia namakan “Jendela Dunia”. Di dalamnya bukan hanya mengajarkan tentang kurikulum yang seperti diajarkan pada sekolah-sekolah yang ada di kota, tetapi juga mengajarkan bagaimana seharusnya manusia menyayangi dan melindung alam yang ada di sekitarnya.
Setiap sore, setelah Juang menjajakan koran. Ia berkumpul bersama anak-anak tepat di bawah pohon rindang yang terdapat papan kayu bertuliskan “Jendela Dunia”.
“pohon itu sesuatu yang berharga bagi kita. Kita bisa bernafas dengan segar, itu karena pohon. Makanya kita wajib merawat dan menyayanginya, karena pohon sudah baik juga kepada kita” jelas Juang kepada anak-anak yang mendengarkan dengan tatapan yang penuh kepolosan.
Juang acap kali bercerita tentang indahnya dunia meski pada kenyataanya dunia tidak sama indahnya dengan apa-apa yang diceritakan oleh Juang. Biarlah anak-anak tumbuh tanpa mengetahui kenyataan yang sebenarnya terjadi. Keadilan sudah terenggut sejak dini, jangan sampai tawa tulus berganti paksa dengan tangis yang menderu.
Juang, ketika suara sudah diabaikan dengan terang-terangan, maka pena adalah senjata paling tajam untuk menembus dinding ketidakadilan. Ia rajut keresahan itu dengan kata demi kata yang tersusun rapih dan menjadikan bait kejujuran perihal sesuatu yang bersimbah darah dan air mata.
Tanah Merdeka
Di ujung negeri yang kaya, orang-orang dibiarkan bodoh agar tidak tahu apa-apa perihal sesuatu yang terjadi di sekelilingnya. Disuapi dengan harta untuk membungkam perut dan mata, tetapi, di sisi lain mengeruk kekayaan tanpa memperhatikan lingkungan dan kemanusiaan. Manusia sekarang, begitu serakah, haus akan pundi-pundi untuk kelangsungan hidup dirinya sendiri yang tidak pernah mencapai kata puas pada kesenangan semata.
Merdeka tanpa keadilan adalah mitos. Buta aksara sudah menjadi kawan dekat tanpa sekat. Orang pintar semakin membodohi. Orang kaya semakin memiskinkan. Kekayaan alam dirampas paksa tanpa aba-aba. Penggusuran tanah dihaluskan dengan dalih rekonsiliasi. Manusia melakukan kejahatan bersenggama dengan kembang gula. Tanpa pengetahuan yang lebih, rakyat kecil hanya akan mengangguk saja. Asalkan perut kenyang dan uang susu untuk anak aman, itu tidak jadi masalah, bukan?.
Memang tidak semua manusia memiliki maksud dan tujuan seperti itu. Tetapi, tolonglah, jika anda manusia dan membaca tulisan ini, sampaikan ke kerabatmu bahwa tanah kami habis dijajah bangsa sendiri. Sampaikan juga kepada orang-orang berdasi bahwa; ilmu adalah kemewahan yang berharga yang semestinya kami dapat dan miliki. Di tanah Surgawi, itu semua terjadi.
Tulisan Juang terlampir melalui secarik kertas yang ia pampang di setiap sudut pelabuhan. Tersebar begitu banyak pada tempat-tempat strategis yang orang-orang sering melewatinya. Pada pepohonan, pada tiang-tiang listrik, pada warung makan, sampai pada lembar-lembar kertas yang ia taruh begitu saja di pelabuhan.
Juang menulis tulisannya hampir lima puluh kertas ia habiskan, agar suara rintihan dibaca oleh semua orang. Karena kekuatan suara tidak lagi didengar, maka pena adalah salah satu jalan untuk perlawanan. Dengan menulis pena akan menyalur dari kepala ke kepala. Pelurunya satu, tapi akan menembus ribuan jiwa. Maka dari itu Juang menulis sebanyak mungkin dengan harapan semakin banyak yang membaca semakin tinggi pula suaranya akan didengar.
Juang percaya bahwa kekuatan pena mampu menembus tidak cuma di kepala tapi juga di dalam dada. Tulisan yang ditulis jujur akan membuka dan menggerakkan hati sang pembaca. Juang mencoba sejujur-jujurnya ketika menulis tulisan tersebut. Tanpa paksaan, tanpa kepentingan apapun. Ia menulis tulus atas dasar kekecewaannya terhadap sesuatu yang terjadi di desanya.
Walaupun pendidikan di desa Juang tergolong tertinggal jika dibanding dengan desa lain di negerinya, akan tetapi kibaran semangat dan api perjuangan terus menyala demi membakar rasa ketidaktahuan dan penindasan. Pelopor dulu memulai pendobrakan penjajahan bukan cuman dengan bambu runcing saja, tapi juga dengan pemikiran serta kata-kata.
Selepas Juang menyebarkan tulisan tersebut. Desanya mulai mendapat dukungan dari desa lainnya, menuntut dengan tujuan yang sama dengan mengatasnamakan rakyat demi membela saudaranya sendiri. Meskipun di desa Juang banyak yang buta akan aksara, dengan melalui mulut ke mulut permasalahan yang telah lama dialami oleh penduduk desa yang tidak disadari oleh mereka kini perlahan mulai menemukan titik terang dan sadar akan hal itu.
Bagi mereka yang terpenting dalam hidup adalah bisa makan dan kecukupan, tidak perlu memikirkan pendidikan. Atas dasar pemikiran itu pula Juang menuliskan keresahannya. Bukan demi kepentingan dirinya sendiri tetapi demi kepentingan kelanjutan generasi yang akan datang. Ilmu dan pengetahuan adalah kemewahan yang harus dinikmati oleh semua orang. Sang pemilik kemewahan seharusnya mewarisi kemewahan itu dengan maksimal kepada generasi setelahnya.
Banyak bantuan berdatangan. Anak-anak muda khususnya, mereka menyebut dirinya dari kota, mencari-cari sosok Juang yang telah membawa mereka turun ke desa. Seketika bertemu Juang, seketika juga sambutan terimakasih dan acungan kebanggaan tersiratkan terhadap Juang. Keberanian untuk berbicara sangat jarang dimiliki oleh semua orang. Jangankan di tempat yang bisa dikatakan tertinggal dari pendidikan, di tempat yang orang-orang bisa menyerap ilmu dan pengetahuan dengan cuma-cuma pun sedikit sekali yang mempunyai mental berani untuk menyuarakan ketidakadilan.
Atas berkat tulisan Juang. Selain anak-anak muda tersebut mengacungkan rasa bangga, mereka juga menanamkan misi untuk membantu adik-adik menggapai cita-cita mereka. bercerita dan memberi pengetahuan bahwa dunia memang sangatlah indah seperti yang pernah Juang katakan kepadanya.
Kini, Juang dibantu dengan anak muda lainnya menata apa-apa yang seharusnya ditata ulang. Dari mulai sektor pendidikan, kemudian lingkungan dan juga ekonomi kreatif. Jendela Dunia yang Juang dirikan sendiri kini bertambah ramai yang datang. Anak-anak dari desa hampir semuanya mengikuti pembelajaran itu setiap sore. Kini mereka (anak-anak kecil) sudah tidak takut lagi untuk belajar di Jendela Dunia akibat larangan dari orang tua mereka masing-masing. Karena memang ada sebagian orang tua yang melarang anak-anak mereka untuk belajar dengan alasan bahwa akan membuang waktu saja, masih mending waktunya digunakan untuk bantu-bantu pekerjaan rumah saja, begitu lah alasannya.
Kini cahaya kembali menerobos dari timur, memberi kebahagiaan kepada pohon yang rmbun, kepada alam yang kurang pengetahuan, kepada kekayaan yang dikeruk serakah dan kepada keadilan yang tidak menemukan tempatnya, sekarang sudah mulai menuju jalan terang atas tertanamnya pengetahuan yang mulai tumbuh dan bersemi.
Posting Komentar