Pagi itu, aku bersiap untuk berangkat ke pondok. Langit tampak begitu cerah, seakan menyambut langkah baruku. Aku merasa sangat bersemangat karena sejak dulu memang ingin mondok. Sebelum berangkat, aku berpamitan kepada orang tuaku dan saudara-saudaraku, sekaligus meminta doa agar ilmu yang kudapat di pondok kelak bisa bermanfaat.
"Yah, meskipun ini pondok mahasiswa," batinku, "tapi aku tetap semangat." Bagiku, berbeda belum tentu buruk. Justru ada banyak kelebihan mondok bersama mahasiswa, salah satunya adalah mendapat gambaran tentang kehidupan di masa depan dan belajar menjadi lebih dewasa.
Sesampainya di pondok, ibuku langsung bertemu dengan Abah (Kiai) dan Umi (Bu Nyai). Mereka berbincang mengenai administrasi serta peraturan-peraturan pondok.
Setelah urusan administrasi selesai, aku diantar ke kamar dan lemari tempatku menyimpan barang. Lurah pondok sendiri yang mengantarku. Begitu sampai, aku duduk terdiam di kasur, masih bingung harus melakukan apa—yah, mungkin ini hal yang wajar bagi santri baru.
Tak lama kemudian, lurah pondok mengajakku mengobrol.
"Namamu siapa?" tanyanya.
"Labib, Mas," jawabku. "Kalau Mas sendiri namanya siapa?"
"Aku Faqih," katanya sambil tersenyum.
Kami pun mulai berbincang tentang banyak hal. Ternyata, kami sama-sama berasal dari Brebes—hanya saja beda kecamatan.
Malamnya, aku mulai mengaji bersama Abah dan bertemu dengan santri-santri lainnya. Saat sedang duduk, tiba-tiba ada seorang santri yang bertanya, "Kamu betah di sini?
"Insya Allah betah," jawabku sambil tersenyum.
Santri itu lalu memperkenalkan dirinya. "Aku Tamam, panggil aja Mas Tamam," katanya.
"Oh iya, Mas," sahutku.
"Kalau kamu namanya siapa?" tanyanya lagi.
"Aku Labib, Mas," jawabku.
"Oh, semoga betah ya di sini," katanya ramah.
Setelah itu, Mas Tamam mulai memperkenalkan beberapa santri lain. "Ini yang di sampingku namanya Mas Azis, terus yang di sampingnya Mas Azis itu Mas Fatur. Udah, kamu hafalin segitu dulu aja, nanti lama-lama juga kenal sendiri," katanya sambil tertawa kecil.
"Oh iya, Mas," jawabku.
"Semoga betah, ya."
"Iya, Mas. Makasih."
Setelah mengaji, ternyata ada acara pernikahan—alumni pondok sekaligus santri pertama Abah yang menikah. Kebetulan dia berasal dari Brebes, tapi karena mungkin terlalu jauh untuk pulang, pernikahannya diadakan di pondok. Makanya, setelah ngaji, kami semua ikut ro’an (bersih-bersih pondok). Aku ikut membantu, mulai dari mencabuti rumput hingga membersihkan halaman.
Saat sedang bersih-bersih, aku memperhatikan para mahasantri. Ternyata mereka seru juga—tidak seperti bayanganku sebelumnya. Kupikir mahasiswa itu orangnya serius dan ambisius, tapi ternyata mereka justru asyik dan menyenangkan.
Keesokan harinya, aku bangun lalu salat Subuh. Setelah itu, seperti biasa, aku mengaji. Acara pernikahan akan dimulai sekitar pukul tujuh pagi. Maka, setelah selesai mengaji, aku segera mandi dan bersiap. Aku ikut mengantar pengantin pria ke rumah istrinya untuk prosesi ijab kabul.
Saat berada di acara pernikahan, aku sedikit bingung. Adat istiadat di desaku ternyata berbeda dengan yang ada di Semarang. Aku hanya mengikuti apa yang dilakukan orang-orang di sekitarku, meskipun sedikit malu karena aku satu-satunya yang masih kecil di antara mereka.
Seminggu kemudian, temanku akhirnya berangkat ke pondok juga. Aku jadi tidak sendirian lagi. Tapi sebenarnya, sebelumnya pun aku tidak benar-benar sendiri. Ada seorang anak yang tinggal di sekitar pondok dan sering datang ke sini. Dia masih kelas 9 dan bersekolah di SMP 33 Semarang—bisa dibilang dia adik kelasku.
Setelah temanku tiba, jumlah siswa di pondok pun bertambah menjadi tiga orang.
Beberapa bulan kemudian, saat aku sedang mengaji bersama Abah, beliau berkata bahwa akan ada atlet renang dari Kota Semarang yang akan mondok di sini. Dia juga siswa kelas 7. Aku merasa senang dan tidak sabar untuk bertemu dengannya, karena, yah, dia seorang atlet kota Semarang—aku ingin tahu seperti apa dia.
Beberapa minggu kemudian, kabar buruk datang kepadaku. Ibuku sakit, dan sakitnya cukup parah. Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku terus menangis karena katanya ada pendarahan di kepala ibuku hingga membuatnya tidak bisa bicara. Aku berbicara dengan Mbakku, mengatakan bahwa aku ingin pulang dan bertemu dengan Ibu. Aku juga menyampaikan hal yang sama kepada Abah dan Umi. Malam itu terasa begitu lama.
Akhirnya, Abah mengizinkanku pulang. Aku berangkat naik kereta. Sepanjang perjalanan dari pondok ke stasiun, aku terus menangis. Sebelum berangkat mondok, aku adalah anak mamah—karena aku memang dekat dengan ibuku.
Saat naik kereta, aku melihat pemandangan yang indah. Namun, apalah arti pemandangan indah jika ibuku sedang sakit?
Sesampainya di Stasiun Brebes, aku langsung menuju rumah sakit. Kebetulan, rumah sakit itu tidak jauh dari stasiun, jadi aku bisa langsung ke sana. Namun, saat tiba di rumah sakit, aku dan Mbakku merasa bingung karena kami tidak memiliki kuota internet untuk mencari informasi.
Setelah beberapa kali berkeliling, akhirnya kami bertemu dengan petugas yang mencatat data pasien. Mbakku bertanya, lalu diberi tahu bahwa ruangan Ibu berada di lantai tiga, bagian belakang. Saat berjalan menuju ruangan itu, aku bertemu dengan Mbakku yang anak kedua. Dia memberitahu bahwa kondisi Ibu sangat parah.
Sejak di kereta hingga tiba di rumah sakit, aku hanya diam. Aku tidak bisa berkata-kata dan berusaha menahan air mataku. Setelah sampai di ruangan, aku masih mencoba tetap kuat. Namun, ketika melihat Ibu terbaring lemah, tidak bisa bicara tetapi masih sadar, aku langsung memeluknya dan menangis.
"Bu, ini Mbib, Bu," kataku.
Ibu tersenyum, seolah ingin bicara tetapi tidak bisa. Selang beberapa saat, Ibu dipindahkan ke ruangan lain. Ruangan itu penuh dengan pasien yang menderita penyakit parah, bahkan ada beberapa yang meninggal.
Sepanjang malam, aku berjaga menemani ibuku, bergantian dengan Mbak-mbakku yang lain. Alhamdulillah, kondisi Ibu semakin hari semakin membaik. Banyak orang yang datang menjenguk dan mendoakan kesembuhannya. Mungkin karena beliau dikenal sebagai sosok yang suka bersilaturahmi, murah hati, dan gemar bercanda.
Namun, di balik sifatnya yang humoris, Ibu juga sangat tegas, terutama dalam hal agama. Baginya, salat, marhabanan, dan mengaji adalah hal yang tidak boleh ditinggalkan. "Kamu boleh pergi ke mana saja, tapi jangan lupa salat," itulah pesan yang selalu Ibu tekankan kepadaku dan Mbak-mbaku.
Beberapa hari berlalu, dan alhamdulillah, Ibu akhirnya diperbolehkan pulang. Aku sangat senang karena keesokan paginya, Ibu sudah bisa kembali ke rumah.
Keesokan paginya, aku dan Mbak-mbaku mulai mengemas barang-barang dan memeriksa kembali untuk memastikan tidak ada yang tertinggal.
Sesampainya di rumah, aku melihat setiap sudut yang penuh dengan kenangan bersama Ibu. Aku tidak menyangka, dulu aku begitu ingin cepat-cepat mondok, tapi sekarang justru rindu masa-masa saat masih di MTs.
Aku di rumah selama tiga hari, lalu berangkat lagi ke Semarang. Sebelum pergi, aku mencium tangan kedua orang tuaku dan meminta doa mereka agar aku bisa menjadi anak yang sukses dan membanggakan mereka.
Aku tidak bisa menahan air mata saat berpamitan. "Jaga kesehatan ya, Bu. Mbib berangkat dulu," kataku.
"Iya, kamu yang baik ya di sana," jawab Ibu lembut.
"Iya, Bu," sahutku, lalu berangkat dengan hati yang berat.
Kata-kata dari Ibu yang paling aku ingat adalah ketika beliau berkata, "Nak, kalau kamu sudah berangkat ke Semarang, bersikaplah jujur. Kalau kamu salah, jujurlah. Kalau sedang tes, jujurlah. Tidak apa-apa nilaimu jelek, yang penting kamu sudah jujur. Menurut Ibu, kejujuran jauh lebih berharga daripada piagam peringkat satu tapi didapat dengan cara tidak jujur. Ingat, dalam Al-Qur'an sudah dijelaskan tentang pentingnya kejujuran."
QS. Al-Ahzab ayat 35, yang menjelaskan bahwa orang-orang muslim yang jujur akan mendapatkan pahala besar.
Dan larangan tentang berbuat tidak jujur atau dusta yang telah di terangkan Dalam Al-Qur'an surat Al-Munafiqun ayat 1, Allah SWT menegaskan bahwa orang-orang yang berdusta termasuk orang munafik. Berbohong akan membawa kerugian bagi pelakunya. Bahkan bukan hanya mendapatkan balasan dirobek mulutnya ketika di alam kubur, siksa bagi orang yang berbohong akan lebih pedih.
"Seperti itulah santri, jauh dari orang tua."
Namun, justru dengan cara inilah ia berbakti kepada mereka—dengan menuntut ilmu, agar kelak ketika orang tuanya sudah tiada, dialah yang akan terus mendoakan mereka. Seperti dalam sabda Nabi Muhammad SAW:
"Apabila seorang anak meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau doa anak yang shalih." (HR. Muslim)
"SETIAP ORANG ADA CARANYA MASING-MASING UNTUK BERBAKTI KEPADA ORANG TUANYA DAN BAKTINYA SEORANG SANTRI ADALAH KETIKA DIA MENGAJI DENGAN SUNGGUH-SUNGGUH DAN MENDAPAT KAN ILMU YANG BERMANFAAT DUNIA DAN AKHIRAT"
~Muhamad Labib
Meteseh, 2 Maret 2025
Tentang Penulis
Muhamad Labib adalah seorang santri di PonPes Al-Fadilah Meteseh, sekaligus siswa kelas X MA Taqwal Ilah Meteseh, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang.