The Most/Recent Articles

Pre-Order Buku Evaluasi Program pada Program Studi Umum di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri



Judul Buku    : Evaluasi Program pada Program Studi Umum di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri

Penulis            : Prof. Abdurrahman Mas’ud, M.A., Ph.D., Dr Saminanto, S.Pd., M.Sc., Pungky Lela Saputri, S.S.T., M.E.   

Halaman         : 80 halaman

Harga              : 50.000

Stok                  : 100 Buku (Cetakan Pertama)

Free Pembatas Buku

Sinopsis

Buku ini merupakan hasil jerih payah tim penulis yang telah berkolaborasi dengan penuh dedikasi untuk menyusun materi yang bermanfaat dan relevan dalam konteks evaluasi program, khususnya dalam lingkup Program Studi Umum di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN). Kami menyadari pentingnya evaluasi program sebagai salah satu instrumen penting dalam memastikan efektivitas, efisiensi, dan kualitas pendidikan tinggi, khususnya yang berbasis agama.


Info dan Pemesanan: 087834433309 (Digdaya Book)

Ojek Online




Oleh: Masnunah Nurul Faizah

Lagu ”Love Story” milik penyanyi-penulis berkebangsaan Amerika Serikat terdengar menggema dalam ruangan. Nampak seorang perempuan menganggukkan kepala ikut menyanyikan lagu tersebut dengan begitu semangat. Jemari lentiknya sesekali menari di atas keyboard laptop, dia sedang mengerjakan tugas kuliahnya.


“Romeo take me somewhere, we can be alone

I’ll be waiting, all there’s left to do is run

You’ll be the prince and I’ll be the princess

It’s a love story, baby, just say yes-

Romeo save me, they’re trying to tell me how to feel

This love is difficult, but it’s real

Don’t be afraid, we’ll make it out of this mess

It’s a love story, baby, just say yes

Oh, Oh,”


Senandung perempuan tersebut mengikuti irama lagu milik Taylor Swift.

Kalian pikir dia bersenandung tanpa membayangkan sosok lelaki yang dia idamkan? Lihat, betapa antusiasnya dia menyanyikan lagu tersebut. Dengan mata yang terpejam menikmati alunan musik tersebut, memori otaknya sibuk memutar bayangan wajah sosok lelakinya. 

Ups! Maaf, maksudnya, lelaki yang dia idamkan.

Faizah, namanya. Panggil saja perempuan tersebut dengan nama kecilnya, Icha. Tidak nyambung memang, namun begitulah kenyataannya. Kalau kata teman-teman Icha, “Ikan kembung nabrak ombak, ga nyambung, Mbak,” Konon katanya, nama Icha diambil dari kata Izah dengan tujuan mempermudah dalam penyebutannya. Maklum saja, Icha ini orang Jawa, bisa saja orang lain tidak memanggilnya Izah, tetapi Ija. Jadi, sebelum mendapat panggilan Ija, keluarganya memberi nama Icha.

Sama seperti remaja pada umumnya, kesibukan Icha saat ini kuliah, scroll video tiktok, makan, dan yah tentu saja masih menjadi beban orangtua. 

Saat ini Icha menduduki bangku kuliah semester tiga, prodi peternakan menjadi pilihannya sedari dulu SMA. Dia sendiri tidak tahu apa yang membuatnya tertarik pada prodi tersebut, dia pikir prodi tersebut cukup mudah untuk dilampauinya. Namun siapa yang menyangka bahwa dalam perkuliahannya terdapat praktek yang menurutnya aneh, seperti mengukur diameter kuning telur.

Helaan napas keluar bersamaan dengan berhentinya lagu Love Story, jemarinya juga berhenti mengetik laporan praktikum yang tengah dikerjakan. Sedikit merenggangkan otot, dia rasa matanya sudah cukup lelah setelah menatap layar laptop berjam-jam. Sesaat kemudian matanya melotot begitu melihat angka jam yang tertera di pojok kanan bawah layar laptopnya. 

“Woy udah jam setengah satu malem,”cetusnya berjingkat. Tanpa basa-basi dia menutup laptopnya, lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur yang sedari tadi seperti menggodanya.

“Ya Allah, besok bisa telat kalo jam segini belum tidur,” monolognya, perlahan dia memejamkan mata, berharap hari esok menyenangkan baginya.

Raut tak bersahabat tercetak jelas pada wajah Icha. Alis yang hampir menyatu, mata menatap tajam, dan decakan sesekali keluar dari mulutnya. Jangan bertanya dia sebal pada siapa, dia sebal pada dirinya sendiri karena beberapa alasan. Pertama, dia bangun terlambat. Alarmnya sudah berbunyi nyaring sedari pukul lima pagi, namun matanya tidak bisa diajak kompromi. Kedua, motornya tiba-tiba tidak bisa dihidupkan.

“Ning, kenapa sih harus mogok sekarang?” ucapnya pada motor matic yang diberi nama kuning.

Berkali-kali dia tarik-buang napas, berharap rasa sebalnya dapat sedikit berkurang. Dua puluh menit lagi kelasnya akan dimulai, ditambah dosen pagi ini terkenal akan killer. Kalau sudah begini tidak ada pilihan lain selain memesan ojek online melalui aplikasi kuning. 


Ting!

Notif masuk saat driver menerima orderannya. Buru-buru dia membatalkan orderannya itu karena alasan tersendiri. Dicobanya lagi sampai lima kali, namun tetap orang tersebut yang menerima orderannya. Matanya memicing takut kala driver tersebut menghubunginya melalui fitur pesan yang tersedia dalam aplikasi tersebut.

“Cobaan pagi apalagi ini,” serunya frustasi. Dibukanya aplikasi ojek online yang lainnya. Helaan lega berhasil keluar setelah dia mendapatkan driver baru dengan waktu tunggu hanya dua menit.

Kelas sudah akan dimulai sepuluh menit lagi, sementara waktu perjalanannya dari kos ke kampus membutuhkan waktu lima belas menit. Dalam hati dia terus melafalkan sholawat, do’a, harap-harap dosennya datang terlambat atau keinginan paling baiknya dosennya tidak datang.


Tin!

“Atas nama Kak Icha?” ucap driver ojek online dengan jaket hijaunya, membuat Icha spontan mengangguk dan meminta helm. 

“Sesuai titik ya, Kak,” lanjutnya.

“Iya, Pak. Ayo kebut ya, Pak, saya sudah telat,”  balas Icha dengan menggebu. Pagi ini sudah sangat menguras energinya.

Motor driver tersebut baru saja berjalan dengan seimbang, tapi seruan dari belakang menginterupsi mereka untuk tidak jalan terlebih dahulu. Wajah Icha seketika tegang.

“Mbaakk, Mass, berhenti! Mbak itu tadi sudah membatalkan saya. Sudah lebih dari empat kali membatalkan saya. Kasih tau dia, Mas, saya sudah jauh-jauh menjemput tapi dibatalkan!” seru orang tersebut, diduga driver yang sedari tadi di-cancel oleh Icha.

“Pak ayo jalan aja, Pak, saya takut dengan driver itu,” ucap Icha lirih, dia sudah lemas.

“Baik, Kak,” motor tersebut kembali berjalan dengan cukup cepat, tanpa peduli dengan seruan orang tersebut.

Di tengah perjalanan driver tersebut membuka percakapan, “Tadi kenapa sama driver itu?”

“Ya Allah, Pak, saya sudah lebih dari tiga kali dipalakin. Minta uang tambahan, Pak, bukannya pelit, tapi mintanya itu ngga kira-kira, Pak,” jelas Icha menggebu. 

“Maaf ya, Pak, tadi jadi sempat ribut dulu,”

“Oh iya, ngga apa, saya juga ngga kenal,”

Hening kemudian, sampai ban motor itu pelan-pelan berhenti di depan gedung fakultas Icha. Selepas membayarnya, Icha dengan cepat naik ke lantai tiga, ruangan kelasnya akan dimulai. Demi apapun dia sudah telat sepuluh menit. Dosennya hanya memberi jatah terlambat lima menit.

***

Ceklek!

Tangan Icha membuka pintu dengan perlahan, dia sedikit menunduk memberikan salam kepada sang dosen. Sayang, bukan senyuman yang di dapat, dia malah mendapatkan tatapan tajam.

“Mau kemana? Silakan keluar jangan masuk kelas saja!” ucap dosen tersebut dengan tegas.

Kaki Icha rasanya sangat lemas, dia sudah berjuang untuk berangkat ke kampus. Hasilnya dia tidak diperbolehkan untuk ikut kelas.

“Apes banget pagi ini, bakal dapet kebahagiaan apa abis ini, Ya Allah,” lirihnya setelah keluar dari kelas. Menghela napas berharap kesabarannya bertambah.

Ayahku Bukan Seorang Pembohong


Oleh : Muhammad Sholachuddin

Malam begitu sunyi meski di tengah - tengah hiruk - pikuk dunia, awan - awan gelap memayungi gemerlap lampu yang menyilaukan mata. Hembusan angin membisukan bisingnya kendaraan yang memekikkan telinga. Limbah Sari, tempat paling menjijikan di tengah - tengah ambisi kemewahan ibu kota, bagian pojokan kota, tempat pembuangan sampah. 

Aku menatap rembulan yang bertengger di langit panorama, aroma sampah yang menyerbak di sekitar sudah menjadi makanan sehari - hariku, duduk di atas gundukan sampah dengan kardus sebagai alasnya, mengistirahatkan badan dari tuntutan kejam yang biasa ku jalani.

Kulempar pandanganku kepada pria tua yang sedang memasukkan botoh plastik ke dalam karung di pojok sana.

Bapakku, masih mengenakan seragam dinasnya, kaos oblong penuh robekan dengan celana yang penuh tambalan, ujung jari kuku berlapis kotoran hingga sebujur badan menyerbukkan aroma busuk limbah pembuangan.

Perhatianku terarah pada bapak yang melambaikan tangannya kepadaku, menulis sesuatu di buku yang dipegangnya, jari - jemarinya bergerak seirama dengan senandung lidahnya, selesai menulis, bapak mendekatiku, memperlihatkan tulisannya padaku sembari menyunggingkan senyuman di sudut bibirnya.

'Zenna... Bapak sudah hubungi sahabat bapak pas dulu kuliah bareng, katanya dia bisa membuatmu lolos seleksi di Universitas Bunga Cendekia, daftarlah, Nak, urusan biaya nanti bapak urus..'

Aku mengerutkan kening, tampak bingung membaca tulisan bapak. Sahabat? di desa saja bapak tidak punya teman, bahkan tidak sadar jika dirinya dikucilkan penduduk desa. Kuliah? bapak bahkan tidak pernah mengenyam bangku sekolah dasar, hanya bisa menulis dan membaca, itu juga membutuhkan 10 tahun lebih untuk bisa mempelajarinya.

Aku hendak mengatakan sesuatu, tapi jari-jemari kasarnya kembali menari-nari di bukunya. Membuat mulutku terkunci.

'Zenna, nanti kalau mau kuliah, bapak belikan sepatu modelan terbaru ya...'

Aku mengangguk membaca pesan bapak, ada perasaan marah tapi tidak kusampaikan lewat mimik wajah. Itu adalah tulisan yang dijanjikan bapak 4 tahun lalu, sekarang, kupalingkan wajahku ke bawah, kakiku masih beralaskan sendal kulit, dekil, kotor dan menjijikan karena menginjak sisa makanan basi. Bibirku hendak berucap tetapi tercekat dikerongkongan, ku urungkan niatku.

Sejak kecil aku dilahirkan di tengah-tengah keluarga miskin, kasta terendah, budak. Aku adalah budak tirani dari majikan kejam bernama kemiskinan, manusia yang melahirkanku tidak bertanggung jawab dan menghilang tanpa aku mengetahui wajahnya, membuatku harus dibesarkan dengan kebohongan yang selalu dimuntahkan bapak, bukan belaian kasih dari seorang Ibu. 

Dijejali tingginya harapan lalu dihancurkan begitu saja oleh pahitnya kenyataan, bapakku tidak hanya seorang pemulung, tapi juga seorang pembohong ulung, begitu lihai, sampai terkadang cara dia berbohong sama seperti cara dia bernafas, begitu lepas. Mungkin karena alasan itulah Tuhan menakdirkan bapakku tidak bisa berbicara, untuk mengurangi kebohongannya.

”Ayo, Nak, pulang... Malam ini kita akan pesta ayam”

Bapak tidak menyampaikan pesannya lewat tulisan, hanya lewat gestur wajah dan tangannya memamerkan bungkusan ayam yang ditemukannya di tempat sampah pojok sana.

Tidak butuh lama untuk sampai di kediaman kami, letaknya di pinggiran pojok Limbah Sari, sengaja untuk tinggal tidak terlalu jauh sehingga kami bisa mencari nafkah lewat sampah - sampah yang dikumpulkan setengah mati, meski upah yang didapatkan membuat ku sakit hati.

Rumah sederhana yang dibangun dari potongan triplek dan kardus yang disusun sedemikian rupa, tidak terlalu luas tapi cukup untuk dihuni 2 orang, pinggiran rumah berserakan barang - barang bekas yang bapak kumpulkan untuk dijual jika ada yang berminat, dan diperbaiki jika masih layak.

Kami berdua masuk ke dalam rumah, langsung melingkar di atas kardus yang dijadikan alas, bapak membuka bungkusan lalu mengenyam nasi setengah basi dengan jari kasarnya, sedangkan aku masih terdiam, sampai bapak kembali menulis sesuatu.

”Nak ayo makan, hari ini kita makan ayam, besok - besok kalau restoran bapak sudah jadi, kita tidak akan makan ayam lagi, rendang! Setiap hari kita akan makan rendang..!” tulisnya dengan senyum yang seperti biasa. Sumringah.

Restoran apa? lagi-lagi bapak berbohong, jika diriku 10 tahun lalu, mungkin aku akan tersenyum lebar membayangkan apa yang bapak ucapkan, sekarang, umurku sudah 18 tahun, kebohongan yang bapak ucapkan bukan lagi secercah harapan untukku melainkan bualan omong kosong.

"Besok Zenna harus bangun pagi, mau langsung tidur saja.." kataku menghela nafas lalu berbaring membelakangi bapak, mengacuhkan bapak yang menahan perih karena sikapku.

***

Pagi harinya, karena udara yang begitu dingin aku terbangun dari tidurku, jam menunjukkan pukul 04:20 pagi, segera kubergegas ke belakang rumah, menimba air lalu mandi, pukul 04:56 aku berangkat ke sekolah dengan sangu ala kadarnya yang diberikan bapak di atas tas bututku. Seperti biasa, bapak sudah lebih dulu pergi, pernah sesekali aku terbangun sepertiga malam karena lapar dan bapakku sudah pergi entah ke mana.

Aku tidak terlalu memikirkannya, lebih penting aku memikirkan bagaimana cara agar bisa mendapatkan nilai bagus, lolos ujian dan masuk ke universitas incaranku, meskipun aku tahu mimpi itu sangatlah mustahil. 

"Aku terlambat...!" kataku cemas melihat langit yang semakin terang.

Jarak menuju sekolah lumayan jauh melewati Limbah Sari, Terminal Bus dan Pasar Loak. Bisa ku singkat dengan menaiki angkutan umum, namun aku harus berhemat.

Sepuluh menit sebelum gerbang ditutup, aku masuk sekolah dengan tubuh yang bersimbah keringat. Depan mading, para siswa dan siswi mengerumuni daftar nama-nama murid yang berhasil seleksi SNMPTN.

Langsung ku mendekat ke dinding mading, "Hey, namaku ada tidak..!" mataku menjelajah dari daftar bawah hingga atas, "Kenapa tidak ada...!"

Lututku lemas dan hatiku kecewa karena tidak ada namaku di daftar penerimaan SNMPTN, duniaku buram, impianku yang menjadi penyemangat hidupku harus pupus, andai aku punya banyak waktu untuk belajar, sehingga rapotku sedikit lebih baik, andai saja aku tidak membantu bapakku memulung, andai aku lebih menjaga pola hidupku, andai saja aku tidak terlahir di keluarga miskin. Andai saja!

"Ah, aku mulai mencari-cari alasan atas kegagalanku, padahal semuanya terjadi karena tanganku sendiri" aku mendesah pelan, ini bukan kegagalan pertama dalam hidupku, "Mendaftar SBMPTN membutuhkan biaya untuk pendaftaran, uang dari mana? bahkan untuk sekedar makan sehari-hari saja susah". "Apa aku bilang saja kepada bapak.. Ah sia - sia, bapak tidak akan punya duit" aku mengacak - acak rambutku, "Kerja, aku harus bekerja... Tapi kerja apa?"


KRING!!!

Suara bel menyadarkanku dari lamunan, kesampingkan sejenak persoalan tentang pendaftaran kuliah, kurapikan rambutku lalu masuk ke dalam kelas. 

***

Sore harinya setelah pulang sekolah hingga malam hari, aku membantu bapak memungut sampah di Limbah Sari, pikiranku masih sibuk tentang rencanaku mendaftar di jalur SBMPTN.

'Nak bagaimana pengumuman penerimaan kampus di sekolah?' bapak bertanya lewat tulisannya.

"Zenna nggak lolos Pak" aku tertunduk lesu sembari mencari - cari gelas plastik di tumpukan sampah.

'Gak papa Nak, nanti kita cari kesempatan lain' tulis bapak memberiku semangat.

Bapak kembali menulis, 'Apa perlu bapak datang ke kampus itu dan meminta anak bapak untuk dimasukkan? lagi pula semua guru di kampus itu kenal bapak, bagaimana?'

***


Plak!

Aku menapik buku harian dari tangan bapak, nafasku memburu dan mataku melotot karena kesal, bapak terkejut dengan sikapku.

"Berhenti berbohong Pak, Zenna capek, Zenna muak dengan kebohongan bapak!" aku menginjak buku harian bapak, "Katanya bapak sudah bilang ke teman bapak kalau akan menerimaku di kampus mereka, mana buktinya? Katanya bapak sedang membangun restoran buat Zenna, mana buktinya Pak?”

”Katanya bapak mau membelikan Zenna sepatu, mana buktinya!? semua yang bapak ucapkan cuma kebohongan..! BAPAK PEMBOHONG..! ZENNA BENCI PEMBOHONG...!" Aku menendang buku harian bapak sebelum lari ke dalam rumah dengan wajah yang berlinangan air mata.

Ini salahku karena tidak pernah jujur kalau aku lelah mendengar kebohongannya, memintanya untuk berhenti, sebelum aku benar - benar marah dan membenci bapak, aku muak menyadari mimpi yang ditanam bapak harus hancur karena kenyataan palsu.

"ZENNA BENCI PEMBOHONG SEPERTI BAPAK...!"

Sampai rumah aku membenamkan wajah dengan bantal, hujan tiba-tiba turun tapi tidak membendung suara tangisanku sehingga bapak, mendengar tangis anak gadis kesayangannya dengan terluka.

Malam itu hujan seakan mewakili kesedihanku, marah, kecewa, menyesal, semua perasaan negatif terkumpul di kepalaku, melebur jadi satu hingga ke titik di mana aku kelelahan dan akhirnya tertidur. 

Seperti pagi yang biasanya, aku terbangun karena rasa lapar yang memenuhi perutku, mataku sipit karena semalam menangis. Kejadian kemarin membuatku enggan untuk mengenakan seragam, enggan untuk bermimpi. Seharian penuh aku di rumah, bermalas - malasan.

Aku tidak melihat bapakku sejak bangun tidur hingga ingin tidur, aku tidak peduli, kemarahanku belum surut, keesokan harinya bapak tidak kunjung pulang, aku mulai resah, besok paginya bapak tidak pulang lagi, sehingga kuputuskan untuk mencarinya.

"Bapak kemana..!?"

"Lihat bapak..?"

"Bapak tidak pulang ke rumah selama 3 hari..."

Aku bertanya kepada orang - orang yang tinggal di Limbah Sari dan tidak ada satu pun yang melihat bapak, sampai Bu Suk memberitahu kabar yang membuat hatiku hancur.

"Zenna..! bapakmu sekarang di rumah sakit sebrang..!"

Aku langsung berlari sekencang - kencangnya, sampai di rumah sakit, tepatnya di UGD, ku lihat banyak orang berpakaian putih yang keluar dari dalam ruangan, dari balik kaca, aku melihat sosok yang selama ini aku cari terbaring lemah dengan mata yang terpejam.

Ku kejar dan ku tarik lengan baju dokter itu, "Dok..! bagaimana keadaan bapak saya..!?"

Ucapan dokter bagaikan guntur di siang bolong, menusuk jantungku, duniaku hancur, air mataku kembali tumpah bahkan lebih besar dari tangisan - tangisan ku selama hidupku, teringat perlakuan burukku kepada bapak membuatku menyesal, segera ku masuk ke dalam ruangan, memeluknya, menangis sepuas - puasnya.

"Maaf..! maafkan Zenna Pak...! bangun..! buka matamu Pak...!" Aku menangis sejadinya - jadinya.

Aku baru sadar alasan kebahagiaan, kesedihan dan kemarahanku selama ini adalah karena bapak, alasanku bisa hidup karena bapak, semuanya karena bapak.

***

Tujuh hari telah berlalu dan tepat memperingati satu minggu bapak meninggal dunia, penduduk Limbah Sari banyak yang melayat dan tahlilan untuk bapak, meski tidak memberikan apa - apa setidaknya mereka sudah sangat peduli terhadapku.

Bapak meninggal karena kecapean bekerja, pagi hingga malam bapak bekerja tanpa henti dan akhirnya tumbang ditengah jalan. Itu menurut kesaksian orang yang membawa bapak dan dokter.

"Bapak bekerja dari pagi hingga jam 10 malam, tapi menurut dokter bapak bekerja seharian penuh, itu artinya..." Zenna terkejut karena ada hal yang baru ia sadari, "Bapak bekerja tanpa sepengetahuanku, tapi kapan?"

Mata Zenna melebar, setiap sepertiga malam bapak sudah tidak ada di rumah. 

"Jadi benar, bapak bekerja seharian penuh..!" hatiku teramat sakit karena baru sadar akan hal ini, "Kenapa bapak tidak  pernah cerita sama Zenna..." 

"Buku harian bapak... Mungkin ada petunjuk tentang bapak kerja di mana.." langsung ku cari buku harian bapak.

Jika dipikir-pikir lagi, aku tidak pernah membuka benda yang paling sering bapak bawa selama hidupnya.

"Zenna izin membuka buku bapak ya.."

Aku membuka halaman demi halaman, tulisan yang hampir tak terbaca, EYD yang salah, aku tersenyum, "Bapak benar-benar tidak berbakat menulis", meski menulis adalah hal yang paling sering bapak lakukan, tapi banyak kesalahan di tulisannya.

"Zenna kangen bapak, Zenna kangen senyuman bapak, Zenna kangen kebohongan bapak..." kataku dengan mata yang berkaca - kaca, semakin ku baca tulisan bapak semakin pilu juga ku rasa, "Tegar Zenna! kau harus tegar seperti bapak...!" aku mengusap air mataku yang hampir tumpah, menguatkan hatiku.

Kukebet lagi halaman demi halaman dan terkejut ketika melihat satu kalimat.!

'Untuk Zenna kuliah, di bawah kardus, tempat tidur'

Langsung kubuka tumpukan kardus yang biasa aku jadikan alas untuk tidur, apa yang ada dibawahnya benar-benar membuatku terkejut, uang berjumlah puluhan menempel di lumpur bau yang berada di bawahku, uang itu tetap terlindungi karena dikemas plastik meskipun sudah kotor dan bau..

"I - Ini uang..?!" punya bapak..?!"

Di antara puluhan lembaran uang itu, terdapat secarik kertas yang menyita perhatianku, kertas itu bertuliskan 'Uang kuliah Zenna', pecah air mataku membaca tulisan itu.

"Selama ini bapak selalu memperhatikanku...!?" aku terisak, air mataku berlinangan, ku peluk erat - erat buku harian bapak, "Terima kasih, Pak... Zenna janji akan kuliah dan menjadi orang sukses ..!"

Seminggu kemudian, Zenna mendaftar ujian melalui jalur SBMPTN dan berkat kerja keras dan d’oa bapak, dia terima di jurusan Sastra Indonesia. Bapak Bukan Seorang Pembohong.


Tamat.

Dosa Mahasiswa


Oleh: Iqbal Khoerul Muttaqin

Sore itu, disudut kampus Roy sedang melakukan diskusi bersama teman-teman organisasinya. Diskusi itu mengangkat tema birokrasi kampus. Roy adalah seorang mahasiswa aktivis di salah satu universitas di Semarang. Roy merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Sebagai anak pertama ia sangat bertanggung jawab dan memiliki jiwa kepemimpinan. Ia juga memiliki wawasan luas. Roy merupakan mahasiswa ilmu hukum, ia sangat memahami permasalahan hukum. Kondisi birokarsi sekarang sedang tidak baik-baik saja. Banyak ketidakadilan dan tidak ada transparasi mengenai kebijakan sehingga merugikan mahasiswa. Diskusi sore itu berjalan dengan serius, peserta sangat antusias mengikuti kegiatan tersebut. Adzan magrib telah berkumandang manandakan diskusi telah usai. 

Malam yang cerah dan bintang-bintang seakan menyempurnakan malam yang panjang. Di sudut kamar roy mulai mengambil satu batang rokok kemudian ia nyalakan dan mulai menghisap pelan-pelan. Ia mulai termenung memikirkan diskusi selanjutnya di esok hari. Smartphone milik roy tiba-tiba berdering. Dini menghubungi roy untuk bertemu malam ini di warung kopi langganannya. Dini adalah kekasihnya, awal mula mereka saling kenal pada saat latihan orasi waktu ospek. Dini juga merupakan mahasiswi aktivis yang selalu mendampingi roy kemanapun ia melangkah. Tak lama kemudian roy mulai bersiap-siap untuk berangkat ke warung kopi langganannya. Roy datang terlebih dahulu sebelum dini dan teman-teman yang lainnya datang. Kemudian ia memesan kopi favoritnya. Tak lama kemudian dini datang dan di susul oleh beberapa temannya. Mereka memesan makanan dan minuman untuk menambah semangat diskusi untuk rencana esok hari. Setelah makanan dan minumannya tiba tanpa basa basi dini memulai diskusi tersebut. 

Obrolan dimulai dengan kata pengantar dan sedikit candaan. Setelah malam mulai larut obrolan menjadi semakin memanas. Roy ingin sahabat dekatnya untuk mengisi materi diskusi besok hari. Namun, teman-teman yang lain tidak setuju begitupun dengan dini kekasihnya. Menurut mereka sahabatnya itu sifatnya terlalu keras, tidak punya atitude, suka ngomong kasar. Namun, roy bersikukuh bahwa sabahatnya itu sangat cocok untuk materi diskusi besok. Menurut roy sahabatnya sangat pandai dalam berektorika begitupun dengan pandangannya terhadap hukum. Sahabatnya roy sebut saja namanya Dani. Ia merupakan mahasiswa ilmu hukum namun berbeda universitas dengan roy. Dani sering berdiskusi dengan roy, apalagi mereka berdua merupakan aktivis mahasiswa. Meskipun dani atitudenya kurang, tapi roy begitu menghormati sahabatnya itu. Diskusi semakin memanas, mereka saling melempar gagasannya masing-masing. Tak lama kemudian dini mulai menengahi diskusi tersebut. Dini membuat keputusan bagaimana kalau voting saja. Kemudian dini memberikan sedikit waktu untuk roy menjelaskan tujuan diskusi besok dan kenapa harus sahabatnya itu yang menjadi pemateri. Perlahan-lahan roy mulai menjelaskan kenapa sahabatnya itu harus menjadi pemateri. Menurut dia materi besok adalah tentang orasi yang akan dilakukan di depan gedung rektorat. Kenapa sahabatnya ini harus jadi pemateri karena sahabatnya ini sangat pandai berektorika dan dia pandai juga dalam berorasi. Selain itu, sahabatnya merupakan mahasiswa hukum. Jadi sahabatnya sangat cocok untuk menjadi pemateri. Setelah penjelasannya selesai dini memulai membuat voting. Dan pada akhirnya mereka semua setuju bahwa Dani sahabatnya roy yang menjadi pemateri besok. Hari sudah menunjukkan jam 2 pagi, mereka satu persatu pulang kembali ke kostnya masing-masing. Tinggalah roy dan dini yang masih duduk di warung kopi tersebut. Saat suasana sudah sepi roy mengajak dini untuk pulang bersama untuk tidur di kamar kostnya.

Setiba di kost mereka mulai bersih-bersih. Roy mulai mendekati dini kemudian saling berdekapan. Mereka saling bercumbu buta. Malam yang dingin mulai menjadi gerah. Mereka saling bercinta dengan penuh kehangatan. Pengalaman pertama di temani cahaya rembulan yang begitu indah dan diiringi suara desahan. Matahari telah terbit dan cahayanya mulai masuk kesela-sela jendela kamar. Dini terbangun melihat jam sudah pukul 07.00 pagi. Dini tak sadar ternyata dia sendirian dikamar. Kemudian dia mencari kekasihnya. Ternyata kekasihnya itu sudah ada diteras kamar, yang sedang menghisap rokok dan ditemani secangkir kopi hitam. Dini meminta kekasihnya untuk mengantar pulang ke kostnya karena ada jadwal kuliah jam 08.00 pagi 

Hari mulai sore, sesuai yang di rencanakan tadi malam diskusi sore ini membahas tentang bagaimana caranya orasi yang benar. Diskusi dibuka oleh dini sebagai moderator. Kemudian tanpa basa basi langsung di serahkan ke dani selaku pemateri. Ketika sesi diskusi akan usai roy memberitahukan ke semua peserta bahwa tiga hari kedepan akan dilakukan orasi di depan gedung rektorat. Diskusi telah selesai, semua peserta mulai meninggalkan tempat. Tinggalah roy, dini dan teman-temannya beserta dani. Mereka mulai membahas persiapan untuk orasi. Orasi akan dilakukan jam 09.00 pagi yang akan di pimpin oleh roy. 

Malam hari sebelum dilakukan orasi roy mengajak teman-temannya untuk berkumpul di warung kopi langganannya. Roy datang terlebih dahulu dan langsung memesan kopi favoritnya. Tak lama kemudian teman-temannya datang. Sambil menunggu minumannya datang roy langsung membuka pembicaraan. Ia menjelaskan bagaimana mekanisme orasinya. Setelah itu mulai mendata peralatan apa saja yang akan digunakan. Pesanan minumannya telah datang. Mereka mulai menyeruput dengan penuh kenikmatan. Diskusi malam itu hanya sebentar, karena besoknya tubuh harus benar-benar fit. Roy berpesan kepada teman-temannya bahwa apapun yang terjadi kita haru menghadapinya walaupun itu nyawa taruhannya.

Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Roy membuat instruksi bahwa orasi dimulai di depan gerbang pintu kampus kemudian mereka berjalan menuju gedung rektorat dengan meneriaki “Hidup Mahasiswa, Hidup Rakyat Indonesia!”. Saat sampai di depan gedung rektorat dini mengambil alih komando, ia meneriakan kebijakan kampus yang telah banyak merugikan mahasiswa. Orasi telah berjalan satu jam namun belum ada respon dari birokrasi. Karena merasa geram kemudian roy mengambil alih pimpinan dan ia mulai berpidato.


Hidup mahasiwa

Hidup mahasiswa

Hidup rakat indonesia

Saudara-saudaraku seperjuangan, sepergerakan sebangsa dan setanah air

Pada hari ini kita terus menerus dibutakan oleh pimpinan yang bobrok

Jika kita melihat kembali kebelakang bahwasanya sudah terjadi kecacatan kebijakan

Tak ada transparasi dari birokrasi

Apakah kita sebagai mahasiswa harus menutup mata dan telinga

Saat ketidakadilan terus merambah di kampus kita

Hari ini nasib kampus kita sangat ditentukan

Tetap hidup menderita atau kita lawan

Bungkam kecurangan

Bungkam ketidakadilan

Bungkam penindasan

Hidup mahasiswa

Hidup rakyat indonesia

Masa depan kampus ada ditangan kita

Mari kita lawan

Mari kita bungkam


Matahari diatas kepala, hari semakin panas dan orasi mulai ricuh. Teman-teman yang lain mulai membakar ban dan mulai menyanyikan lagu mahasiswa untuk meredakan suasana. Tak lama kemudian ada siraman gas air mata yang membuat massa terkejut sehingga keadaan kembali mulai memanas. Kondisi sudah tak dapat dikendalikan, sudah ada beberapa mahasiswa yang ditangkap oleh petugas keamanan. Roy tak tau alasannya kenapa pihak birokrasi melawan sampai menyakiti teman-temannya. Roy tidak terima saat melihat temannya ada yang dipukuli. Kemudian roy mengambil senjata tajam yang sudah disiapkannya tanpa sepengetahuan dini dan teman-temannya. Roy mulai menikam petugas kemanan dari belakang pada saat temannya di pukuli olehnya. Petugas keamanan tersebut langsung terkapar menahan rasa sakit. Kemudian roy langsung di keroyok oleh petugas kemanan yang lainnya. Kepala roy sudah tak dikenali lagi karena penuh dengan darah. Teman-teman yang mulai lain lari terbirit-birit mengamankan dirinya sendiri. Dini yang mengehatahui bahwa kekasihnya menjadi bahan bulan-bulanan menangis histeris dan temannya membawa dini pergi menjauh. Tak lama kemudian ada yang menelpon pihak berwajib untuk mengamankan kondisi yang terjadi. Setelah pihak berwajib datang kondisi roy sudah tak sadarkan diri. Kepala roy bocor dan ada 3 tulang rusuk yang patah. Ia dibawa kerumah sakit terdekat. Namun naas nyawa roy sudah tidak bisa diselamatkan. 

Pihak berwajib mulai mengusut perkara yang terjadi. Dini dan teman-temannya menjadi saksi atas meninggalnya roy. Beberapa petugas keamanan ditetapkan menjadi tersangka dan diberi hukuman yang setimpal. Pihak kampus mulai mengangkat bicara bahwa kejadian itu sungguh di luar kendali kami. Kami hanya menginstrusikan petugas keamanan untuk berjaga-jaga saja jangan sampai mahasiswa masuk ke dalam gedung. Namun semua itu sudah terjadi kami meminta maaf sebesar-besarnya untuk semua pihak yang telah dirugikan terutama orang tua roy. Setelah itu, Rektor kampus mengundurkan diri dalam bentuk rasa bertanggung jawab atas semua kericuhan yang telah terjadi. Pihak kampus mendapatkan sanki ganti rugi dan di skors oleh pemerintah. 

Dini dan teman-temannya masih tidak menyangka bahwa roy akan meninggal. Mereka mengantarkan jenazah roy ke kediaman orang tuanya dan dikuburkan disana. Setelah sampai di rumah roy. Dini memberanikan diri untuk berbicara kepada orang tuanya – menjelaskan semua perkara yang telah terjadi. Orang tuanya menerima dengan rasa berat hati bahwa anak sulungnya kini telah meninggalkannya. Dini dan teman-temannya dini berpamitan kepada orang tua roy untuk kembali ke kostnya masing-masing.

Pre-Order novel Sepasang Juang: Tumbuh, Berteman, dan Belajar Bersama



Judul Buku    : Sepasang Juang: Tumbuh, Berteman, dan Belajar Bersama

Penulis            : Muhamad Syafiq Yunensa

Halaman         : 226 halaman

Harga              : 60.000

Stok                  : 100 Buku (Cetakan Pertama)

Free Pembatas Buku

Sinopsis

Aku mencintaimu pada setiap ruang kelas yang ada di sekolah alam raya"

"Sepasang Juang" mengisahkan tentang dua orang insan yang mencoba merajut harapan di atas luka masa lalu yang tak mereka sadari. Sepasang yang mencoba untuk tumbuh, berteman, dan belajar bersama di tiap peristiwa yang penuh mara bahaya. Mereka terus mencoba menjawab segala tanya dari setiap rasa yang membawa pada segenap asa, bahwa diam bukan pilihan tepat saat tanah yang kita pijak sedang tidak baik-baik saja.



Info dan Pemesanan: 087834433309 (Digdaya Book)

Terdidik dalam Nilai-Nilai Keberagaman Indonesia


 

Topik 3 membahas mengenai identitas maanusia Indonesia. Setelah merenungi dan menghayati materi mengenai identitas manusia Indonesia pada topik ini, penulis menyimpulkan bahwa istilah ini termaknai sebagai representasi Indonesia yng memiliki segudang keberagaman dari Sabang hingga Merauke. Manusia Indonesia disebut demikian sebab bangsa ini terdiri dari banyak kepingan budaya dan kehidupan sosial masyarakatnya. Perbedaan memang sebuah keniscayaan, kedatangannya bukan untuk dikotak-kotakkan namun saling mengisi agar terjadi harmoni yang indah dan selaras dalam bingkai warna-warni ragamnya.

Begitu pula dalam dunia pendidikan, keberagaman dalam tiap siswa adalah modal yang berharga bagi guru untuk mengerahkan pada arah gerak yang positif. Menilik kembali pada topik 1  (Perjalanan Pendidikan Indonesia), Ki Hadjar Dewantara telah sadar bahwa sejak lahir manusia telah dikarunia kodrat alam masing-masing; sifat, potensi, kelemahan dan kelebihan yang melekat secara alamiah pada tiap individu harus diperlakukan dengan hormat. Penghargaan setinggi-tingginya dengan mengakui keunikan tiap individu harus dijadikan modal pendekatan pengajaran yang mengakomodir. Selanjutnya kodrat zaman yang mencakup tuntutan zaman siswa harus mampu mengikuti perkembangan zaman yang bergerak dinamis ini. Guru sebagai tenaga pendidik yang bersinggungan langsung dengan siswa harus memahami konsep kodrat ini, agar tidak adalagi siswa yang dianggap tidak pintar sebab memang bukan hal tersebut yang menjadi keahliannya.

Pada topik 2 (Dasar Pendidikan Ki Hadjar Dewantara), Ki Hadjar Dewantara mencoba menyadarkan bahwa tujuan pendidikan seyogyanya menjadi jalan menuju kebahagiaan dan keselamatan baik sebagai manusia dan bagian dari anggota masyarakat. Guru sebagai pendidik (re:fasilitator) memoles dasar potensi yang ada dalam tiap-tiap individu bukan merubahnya. Kekuatan kodrat tersebut memerlukan penuntun, pengarah dan penyempurna serta pemberi teladan untuk membantu siswa hidup secara terdidik, terampil, berilmu sebagai bekal hidup agar ia mandiri di kehidupannya kelak. Sekali lagi KHD menegaskan pendidikan menciptakan ruang bagi siswa untuk bertumbuh secara utuh agar mampu memuliakan dirinya dan orang lain (merdeka batin) serta menjadi mandiri (merdeka lahir).

Ki Hadjar Dewantara juga menjabarkan budi pekerti sebagai motor penggerak keselarasan hidup yang berasal dari pikiran, perasaan, kehendak dan kemauan untuk menghasilkan sesuatu dari proses berpikir dan “merasa” tersebut. Budi pekerti dalam istilah KHD adalah perpaduan Cipta (kognitif), Karsa (afektif) hingga menghasilkan Karya (psikomotorik). Keselarasan ini dilatih melalui proses berpikir yng melahirkan kesadaran diri yang mengenali kekuatan yang ada pada diri siswa, kemudian akan terlatih dalam kelola kepribadian yang menyadari bahwa ia adalah bagian dari mahluk sosial yang hidup berdampingan bersama manusia lainnya, sehingga akan melahirkan keputusan atau usaha yang bertanggung jawab yang bukan hanya merdeka untuk dirinya namun juga mengusahakan kemerdekaan bagi orang lain.

Ki Hadjar dalam konsep Trilogi Ingarso Sung tulodo, ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani mengharapkan guru sebagai individu yang digugu lan ditiru menerapkan proses belajar dengan teknik sistem among. Sistem among adalah pendidik sebagai pengasuh dan pembimbing yang memberikan unsur asah, asih, asuh yang kuat agar siswa dapat berkembang dan bertumbuh secara merdeka, tidak terdidik jika masih menerapkan sistem perintah dan paksaan.

Nilai-nilai kemanusiaan seringkali luput dalam proses pendidikan yang menekankan hasil semata. Banyak siswa berbondong-bondong mengejar ketertinggalan nilai akademik semata sebab terpampang jelas tolak ukur kelulusannya. Nilai-nilai kemanuasiaan yang tidak jelas ukurannya apa, kadang tersisihkan dalam aspek pembelajaran. Namun dewasa ini, pendidikan Indonesia semakin berbenah setidaknya yang nampak dari ide segar kurikulum merdeka yang menekankan daya intelektual dan daya nilai kemanusiaan yang harus diterapkan dalam proses belajar. Setidaknya ada tiga hal hakiki mengenai nilai kemanusiaan khas Indonesia, yakni kebhinekatunggalikaan, nilai-nilai Pancasila dan religiusitas. Karakter kebhinekatunggalikaan tercermin dalam keberagaman siswaa yang terdapat di berbagai daerah di Indonesia. Budaya, suku, ras, etnik, bahasa dan agamaa menjadi sumber kebhinekaaan. Sedangkan nilai Pancasila  menjadi ruh dan jiwa Indonesia, nilai Pancasila menjaadi sumber pedoman dalam mengatur jalannyaa interaksi siswa dalam bermasyarakat, bernegara dan berbangsa multikultural. Dan yang terakhir sisi religiusitas menjadi penyeimbang antara nilai intelektual  yang berjalan sesuai koridor kemaslahatan manusia. Tanpa sisi religiusitas, modal pengetahuan tidak akan membawa kemajuaan peradapan dan kemaslahatan bagi manusia, sedangkan manusia berilmu akan berjalan tanpa arah jika tak punya pedoman beragama/religius.




Profil penulis

Solikhatun Khasanah dengan sapaan Ana, saat ini sedang menempuh studi PPG Prajabatan di Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Seorang pendidik yang aktif berpetualang, menyukai kegiatan sosial dan anak-anak, ia juga agak suka membaca dan menulis. Dapat dihubungi di media sosial instagram @annanisaca